15

18 3 0
                                    

"Kamu diajak Aldric ke tempat makan?"

Kini diruangan direktur hanya ada Anin dan pak Rayan yang sedang duduk santai menyesapi kopi. Anin menceritakan semua kejadian ia dan Aldric kepada pak Rayan demi keberlangsungan hidupnya. Ia bisa melihat dari mimik wajah pak Rayan yang terlihat kaget saat mendengarkan cerita Anin. Menurut Anin, bosnya bisa menjadi pendengar yang baik. Ia sama sekali tidak mencela semua perkataan yang Anin lontarkan. Setelah bercerita, Anin mengamati tiap inchi dari ruangan pak Rayan, seperti ia merasakan ada yang kurang.

"Niko sedang pergi ke salah satu hotel yang berada di Bandung." Anin menatap wajah pak Rayan datar. "Itu kan yang dari tadi kamu tanyakan di otak kecilmu? Apakah kamu tahu bahwa wajahmu mengatakan semua isi otakmu, Anindira?"

Mendadak Anin tercengang menatap pak Rayan yang berada di hadapannya. Bagaimana pak Rayan dan Aldric bisa menilai dirinya dengan kalimat yang hampir sama?

"Eh, i.. iya pak." Jawab Anin gagap.

"Ada kejadian apa lagi setelah itu?"

"Ada satu rahasia yang akan membuat bapak terkejut."

"Apa itu?"

"Bapak berteman dekat dengan preman."

"Ma-maksudmu?"

"Awalnya saya sangat takut untuk berdekatan dengan alter ego bapak. Siapa yang tidak akan takut bahwa ada seseorang yang kita kenal berteman dengan preman Jakarta, akrab sekali. Namun, rasanya saya sangat kejam jika menilai orang dari cara ia berteman—sepertinya Aldric bisa berteman kepada semua kalangan, Pak. Menurut bapak, kira-kira Aldric berteman dengan siapa lagi ya? pembunuh bayaran? Atau sugar daddy?" Ucap Anin bercanda pada pertanyaan yang ia lontarkan.

Pak Rayan menatap Anin dengan dahi mengkerut. "Hah, papa gula?"

"Sejenis bapak, tapi lebih tua." Gumam Anin, ia lupa kalau bosnya ini sangat kaku dan tidak bisa diajak bercanda. "Oke lupakan. Terkait teman preman Aldric, saya ingin memberikan informasi kalau Aldric juga memberikan pekerjaan kepada kenalan premannya, pak."

"Maksud kamu?"

"Sepertinya Aldric pernah memberikan pekerjaan kepada kenalan premannya, pak. Mungkin lebih jelasnya, bapak bisa bertanya kepada Aldric."

What the... kenapa gue jadi mata-mata gini?

"Baiklah, tetapi kamu tidak diapa-apakan oleh Aldric kan? Maafkan saya jika Aldric merepotkanmu."

Cuma bikin jantung saya copot aja pak.

"Saya tidak kenapa-kenapa pak." Anin berdeham. "Pak, bolehkah saya memberitahu sesuatu kepada bapak?"

"Iya, silakan. Sudah berapa kali saya bilang, bersikap santai saja kepada saya, Anindira. Apakah saya harus menawarkan pertemanan terlebih dulu denganmu?" Tanyanya sambil menyengir kecil.

Anin membenarkan posisi duduknya menjadi lebih santai, tidak tegang seperti sebelumnya.

Tawaran yang bagus pak, namun setelah itu kemungkinan gue cepat dikeluarkan dari kantor juga lebih besar.

"Tidak perlu pak, saya menghormati bapak sebagai bos saya." Tolak Anin tanpa basa-basi. "Begini... ayah saya berprofesi sebagai dokter psikiater pak. Jika bapak ingin berkonsultasi, ayah saya bisa membantu bapak." Ucap Anin gelagapan. "Tetapi kalau bapak sudah punya dokter sendiri, tidak apa. Saya hanya ingin memberitahu bapak."

Pak Rayan diam menatap lurus kearah Anin dengan senyum datar di bibirnya. Mimiknya berubah, tidak terbaca—wajahnya datar namun ada senyum kecil di bibirnya. Anin seketika merasa bersalh. Apakah ia salah berkata seperti itu?

DUOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang