16

24 4 0
                                    

"Bapak nggak bilang kalau mau ngambil dokumen bu Andreas di apartment bapak." Protes Anindira sembari berjalan mengikuti langkah pak Rayan yang berada di depannya. Matanya sibuk melihat sekeliling lorong apartment pak Rayan sambil mengerutkan bibirnya.

"Memangnya apa bedanya kalau kita mengambil dokumen tersebut di kebun binatang ataupun di apartment saya?"

"Ya... nggak ada bedanya sih. Lagian kenapa harus ketinggalan di apartment pak?"

"Bukan ketinggalan, Anindira. Tetapi bu Andreas salah mengirim dokumen tersebut ke apartment saya."

"Kok bu Andreas bisa tahu alamat apartment saya?" Selidik Anin.

"Saya baru tahu keingintahuanmu itu sangat tinggi. Punya anak buah sepertimu, saya jadi menjelaskan apapun secara detail ya." Mendadak pak Rayan berhenti berjalan dan membalikkan badannya untuk menatap Anin yang berada persis dibelakangnya.

"Umm.. Maaf pak."

"Ia baru bisa mengirim dokumen ini kemarin Jumat. Saya memberikan alamat apartment saya karena takut jika dokumen itu sampai di kantor saat hari libur, maka akan terlantar atau bahkan bisa hilang. Terkait dokumen itu, saya harap besok lusa harus selesai ya."

"Besok lusa banget pak?" Keluhnya lagi. Ibarat mati satu tumbuh seribu, deadline satu selesai tetapi deadline lain muncul. Ini tugas apa dosa muncul terus?

"Bekerjalah dengan baik agar kamu bisa mendapatkan hasil yang baik juga, Anindira." Tutur pak Rayan bijak sambil menekan 8 digit angka pada tombol akses pintu apartmentnya.

"Saya minta maaf pak."

"Untuk? Daritadi kamu hanya berucap minta maaf terus, Anindira."

"Untuk perkataan saya tadi siangdi ruangan bapak dan untuk pertanyaan saya diluar porsi pekerjaan."

Pak Rayan hanya tersenyum kecil dan tidak menanggapi ucapan Anindira.

"Kamu tunggu disini, jangan masuk." Ingat pak Rayan sambil membuka pintu apartmentnya. Hanya dalam beberapa detik, tubuh pak Rayan terhuyung lemas ke belakang dan membuat Anin menopang tubuh pak Rayan.

Tangan pak Rayan terus memegang kuat gagang pintu apartment. Anin yang khawatir terhadap bosnya itu sontak kaget saat matanya menatap apartment pak Rayan yang sangat amat berantakan melebihi kapal pecah. Ada apa ini? Apakah ada pencurian disini?

Pot bunga yang sudah hancur lebur di lantai, bantal sofa yang sudah tidak tahu kemana, beberapa laci yang terbuka, dan semua barang yang bergeletak acak di sepanjang lantai apartment.

"Pak Rayan, bapak bisa duduk dulu disini sebentar. Say... saya ambilkan minum dulu untuk bapak." Anin sangat khawatir melihat kondisi bosnya yang terguncang setelah melihat isi apartmentnya yang hancur lebur—dengan wajah merah menahan sakit, kini bosnya terus memegang kepala dan menarik rambutnya kencang.

"An... tolong ambilkan juga obat di nakas kamar saya. Cepat!" Perintahnya.

Anin terkejut melihat kondisi bosnya yang kini sedang meronta menahan rasa sakit dari kepalanya. Anin langsung berlari cepat ke setiap kamar untuk mengambil obat yang pak Rayan maksud. Matanya menatap nanar saat melihat kondisi di setiap ruangan apartment pak Rayan. Sungguh miris, rasanya ia ingin menangis.

Anin mencari obat yang di maksud pak Rayan pada semua sudut kamarnya, akhirnya ia menemukan beberapa botol obat di bawah kasur pak Rayan. Kemudian Anin berlari keluar menuju dapur untuk mengambil segelas air putih. Saat ia akan berlari ke tempat pak Rayan berada, sontak mata Anin menatap sesosok wanita tua yang duduk di pojok ruangan sambil meraung dan menangis ke arah Anin. Tangan dan kakinya dipenuhi ikatan dan mulutnya tertutup rapat oleh lakban.

Anin seketika ketakutan, otaknya bingung apakah menolong wanita tua yang diduga pengurus apartment bosnya atau menolong si bos yang sedang menahan sakit. Anin memberikan isyarat dengan tangannya kepada wanita tua itu untuk menunggu sebentar. Kakinya melangkah cepat menuju pak Rayan.

Ia terperanjat. Kini bosnya sudah berbeda 180 derajat, rambutnya yang acak-acakan, lengan baju yang digulung dan 2 kancing teratas yang sudah terbuka, serta tatapan tajam yang diberikannya kepada Anin—dirinya meyakini bahwa saat ini Aldric sudah menguasai tubuh pak Rayan.

Anin menyodorkan segelas air putih dan beberapa botol obat kepada bosnya. "Pak minum dulu."

"Gue nggak butuh obat." Aldric segera mengambil ponsel dari kantung celananya dan menghubungi seseorang. "Segera periksa CCTV kamar saya, sekarang. Cari tahu dalang dibalik semua ini. Hubungi saya secepatnya."

Anin bergidik ngeri. Ia tidak sanggup mendengar perkataan tajam dari bosnya. Dirinya segera berlari kembali menuju tempat wanita tua itu di sekap. Sialnya ia ingin sekali menangis saking banyaknya pertanyaan yang terlintas di otaknya namun buruknya, ia tidak menjawab pertanyaan tersebut. Ia juga ketakutan dengan keadaan seperti ini.

Apa yang ingin pencuri itu cari dari seorang pak Rayan?

Anin membantu meelepaskan ikatan pada kaki dan tangan wanita tua itu dan berhati-hati melepaskan lakban yang tertempel di mulutnya.

"Apakah ada yang terluka bu? Pak Rayan sudah disini."

Wanita tua tersebut hanya menangis tersedu-sedu. Ia terduduk lemas dan tangisannya tidak berujung reda. Anin menatap nanar wanita didepannya, ia mengerti betapa shock nya wanita tua itu.

Aldric duduk tegap disamping wanita itu sambil mengeluskan tangannya ke bahunya untuk menenangkan.

"Bi, saya minta maaf. Saya benar-benar minta maaf sudah membahayakan bibi. Sekarang bibi sudah aman bersama saya." Ucap Aldric lembut menenangkan wanita yang dipanggil bibi olehnya. Anin yang melihat interaksi keduanya sontak menitikkan air mata. Ia tidak dapat membendung lagi air matanya.

Setelah itu, beberapa jam kemudian Anin duduk termangu di sofa ruang tamu apartment bosnya yang masih berantakan. Aldric berjalan mendekat kearah Anin sambil membawa segelas air putih.

"Bibi sudah tenang?"

Aldric memberikan minuman tersebut tanpa membalas pertanyaan yang Anin lontarkan. "Minum dulu, tenangkan dulu pikiran lo."

Anin langsung meneguk habis air putih yang diberikan oleh Aldric. "Thanks."

Anin kembali diam sambil memainkan ujung gelas yang ia pegang. Tidak ada penjelasan apapun yang keluar dari Aldric, begitupun Anin yang sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Dia pengurus rumah dari saat gue kecil sampai sekarang. Dia salah satu orang yang tahu bahwa gue ada di dunia dan juga pengganti sosok ibu untuk gue dan Rayan."

Anin hanyut di dalam cerita Aldric. Ia hanya menatap guratan tegas dari wajah Aldric. Anin baru menyadari bahwa bosnya memiliki alis tebal dan tegas, hidung yang sedikit mancung, kulitnya yang putih namun agak kecoklatan, dan bibir yang.... Astaga Anin, how dare you to think like that?

"Bi Risma adalah orang pertama yang menyadari bahwa gue ada, muncul sebagai kepribadian lain di tubuh Rayan. Ia terus berada di dekat gue saat dunia sedang menginjak-injakkan gue dan Rayan, sampai dia juga ikut bersama kami saat kami memutuskan keluar dari rumah."

Kepedihan hidup yang dirasakan Aldric ataupun pak Rayan sontak bisa dirasakan juga oleh Anin saat ia mendengar semua cerita masa kelam mereka. Sorot mata kesedihan dan kemarahan melebur menjadi satu, nada muak yang terdengar dari setiap perkataan Aldric membuat tubuhnya pilu. Ia tidak tahu betapa berat hidup mereka dulu hingga terjadi seperti ini. Pencurian tanpa ada barang yang hilang, mustahil.

Tanpa sadar, satu tangan Anin menggenggam kedua tangan Aldric dan mengelusnya sedangkan tangan yang lain mengelus pundaknya pelan. Ia menunjukkan rasa empati kepada Aldric seolah mengerti emosi yang sedang dirasakannya.

Aldric melihat tangan kecil yang menggenggam tangannya yang besar. Ada sorot tak terbaca dari keduamata Aldric untuk Anin. 




Hari ini cukup sampai segini dulu kali yaa.

Aku harap kalian suka dengan bab ini. Jangan lupa comment dan like yaa :)

xoxo.

DUOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang