7

17 4 0
                                    

Senin pagi, Anin sibuk bersiap diri untuk masuk kerja kembali. Ia juga sibuk menyiapkan mental setelah tragedi di club. Siapa bilang ia telah melupakan kejadian penting dirinya dengan pemilik perusahaannya? Tidak semudah itu Ferguso. Bahkan setiap malam sebelum ia tertidur, Anin menatap foto di handphone yang ia abadikan saat pak Rayan menyiksa perempuan asing di club.

Saat ini otaknya sedang menyusun kata-kata dan strategi untuk menghindar dari pak Rayan dan juga sekretarisnya, pak Niko. Tanpa ia sadari, Anin sedang mengunyah roti yang ia buat sambil berjalan mondar-mandir di ruang makan. Athallah yang melihat tingkah laku adiknya, sontak memukul punggung adiknya dengan koran yang ia bawa.

"Makan tuh duduk. Pantat lo lagi bintitan?"

"Kasar banget sih bang, geplak mulu." Protes Anin.

"Kalau di lembutin, tambah ancur hidup lo." Tutur sarkas dari mulut manis Athallah. Abangnya sibuk merapihkan berkas-berkas yang ia bawa sambil mengunyah roti tawar yang ia pegang.

"Tumben bang masuk pagi? Banyak project nih kayaknya? Bisa kali traktir sepatu sport untuk Dira."

Abangnya, Athallah cukup terkenal di kalangan anak muda yang menggunakan social media. Ia bekerja sebagai salah satu content creator di perusahaan digital. Kerjaan abangnya inilah menjadikan social media miliknya penuh dengan ide-ide creative yang disukai anak muda. Jam kerja yang tidak menentu menjadikan mereka susah bertemu walaupun di rumah sendiri, karena ketika Anin berangkat kerja, Atha masih tidur nyenyak di kamar atau ketika menjelang malam, Anin yang bersantai di rumah, namun Atha belum pulang.

"Ada meeting final project sama clien. Gampang, doain aja nggak ada revisi."

Anin mengaminkan dengan suara lantang. "Ohiya bang, ayah sampai airport jam berapa?"

"Jam dua siang. Nanti sebelum pesawat ayah take-off, telepon ayah ya Dir. Biar nggak khawatir."

"Siap bang." Anin mengambil tas kerjanya dan berjalan mengambil kresek berisi makanan yang kemarin ia beli di swalayan—makanan yang berisi kue ini sengaja di beli Anin untuk cemilan teman-temannya di kantor.

"Bang, Dira berangkat dulu." Ia sudah bersiap menggunakan helm di dalam rumah.

"Hati-hati. Kabarin kalau udah sampai." Anin mengacungkan jempolnya ke atas. Ia berjalan menuju ke motor matic-nya yang terparkir cantik di garasi rumah. Semenjak ia pertama kali bekerja, ia sudah mengendarai motor matic kesayangan untuk melewati segala rintangan di jalanan kota Jakarta. Untungnya, kantor tempatnya bekerja sekarang tidak jauh dari rumah, hanya butuh perjalanan kurang lebih dua puluh menit untuk sampai kantor.

Selama perjalanan dari rumah hingga kantor, pikirannya masih dipenuhi strategi apa yang cocok untuk menghindar dari si bos. Bahkan sekarang Anin berjalan setengah sadar menuju lantai tempatnya bekerja. Biasanya, Anin sudah sampai kantor dari satu jam sebelum jam kerja masuk, namun saat ini ia sengaja untuk datang ke kantor di waktu 10 menit sebelum jam kerja masuk. For your information, bosnya ini sangat amat rajin untuk berangkat ke kantor, ia bisa sampai ke kantor di pagi buta. Oleh karena itu, Anin segaja untuk datang mendekati waktu masuk agar ia tidak bertemu dengan pak Rayan di lobby ataupun lift kantor.

Ia meletakkan semua barang bawaan di meja kubikelnya dan duduk termangu, pikirannya melayang ke antah-berantah.

Duh, bisa aja sih gue menghindar untuk nggak ketemu bos. Tapi kalau sudah dipanggil untuk ke ruangannya, gue bisa apa?!

Tanpa sadar, Mas Adam sudah nangkring berdiri di sampingnya. "Jin iprit dari lantai manakah kamu?" Acting mas Adam sambil memegang atas kepala Anin. Mulutnya asyik berkomat-kamit.

DUOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang