4

24 4 0
                                    

Dentuman musik EDM yang keras serta hingar bingar manusia yang sedang asyik berjoget membuat suasana malam di club Lucy menjadi hidup. Tidak ingin ketinggalan, para lelaki Ilmuminati juga sedang berjoget di floor sambil menebar pesona keseluruh perempuan yang ada di dekat mereka.

Anin menengok jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. Bentar lagi deh gue pulang, nunggu bang Atha telepon, baru balik.

"Halo. Gue Natasha." Sapa ramah seorang perempuan dengan rambut panjang bergelombang yang telah berdiri dihadapan Anin, Vaya, dan Mika yang sedang mengobrol.

Anin menatap wanita didepannya dengan tatapan tak terbaca. Wah, halilintar banget nih orang. Juna bisa aja gaet bibit unggul kayak begini.

"Oh, hai Natasha. Gue Anin, ini Vaya, dan mika." Rasanya Anin seperti tour guide yang sedang memperkenalkan temannya. "Sini, duduk. Santai aja Nat."

"Hm, okay." Natasha duduk dengan malu-malu kucing disamping Anin.

"Udah berapa lama pacaran sama si curut, eh maksudnya Juna?" Ucap ramah Vaya.

"Baru tiga bulan." Jawab Natasha sekenanya. Biasa, tabiat temen baru, sok malu-malu kucing.

"Sialan tuh si kunyuk, baru ngenalin ceweknya ke kita-kita. Kok mau sih sama Juna? Di pelet lo?" Sahut Mika setengah teler, Mika si alcohol addict.

"Mungkin karena mulut Juna terlalu berbisa dan pesonanya yang cukup mematikan kali ya." Timpal Natasha dengan senyum maut. Tiap hari Juna disenyumin kayak gini nggak diabetes?

"Najis. Jijik gue dengernya." Vaya meraba kepala dan sekujur badannya dengan kasar, seolah ia sedang membersihkan kotoran di badannya.

"Pesona Juna mana yang bisa di banggakan? Jangan-jangan lo cinlok ya, terus udah kepalang dibawa ke kasur?" Ucap Mika bercanda.

"Kok tau gue sama Juna udah main sampe kasur?"

"Wah ancur nih. Nin, Vay, cocok nih orang ngobrol sama kita. Otaknya agak-agak konslet."

"Lo aja kali. Gue masih waras." 

"Seorang dosen yang tiap malem nongkrong di club, waras dari mananya bencong?"

"Lo... Em, dosen Vay? Really?" Raut wajah terkejut Natasha membuat Anin dan Mika tertawa terbahak-bahak. Memang selalu Zonk, kalau Vaya sudah ditanya mengenai profesi kerja. 

"Nggak keliatan kan dari mukanya?" Pertanyaan Anin dijawab Natasha dengan anggukan.

"Gembel lo, Mik. Please close this conversation. By the way, lo kerja apa Nat?" Tanya Vaya dengan wajah kesal.

"Model. Kalian kerja apa? Barangkali bisa buka link untuk tambahan uang kan."

Sempat terfikirkan oleh Anin bahwa pekerjaan Natasha adalah model saat melihat perempuan ini pertama kali. Gaya berpakaian pacar Juna ini sangat jomplang sekali dengan gaya Natasha sekarang, seperti sinetron Upik Abu dan Laura.

"Tambahan uang mah ke daddy sugar aja." Canda Mika.  "Profesi gue food scientist, tapi lumayan merangkap jadi model body part sih." Jelas Mika.

"Lumayan nggak nyambung ya." Natasha tertawa kecil. "Kalau lo kerja apa Nin?"

"Konselor perusahaan." Ujar Anin singkat, padat, dan jelas. "Eh, gue pesen minum dulu. Aus."

"Ini bir belum abis Nin." Vaya menyodorkan sebotol bir yang masih terisi.

"Lagi nggak pengen mabok gue. Bhay."

"Mau curi-curi pandang ya lo? Jangan sampe dibawa ke hotel aja." Mika dan omongan ngelanturnya.

"Suuzon lo, im not you."

"Sialan lo."

"Mampus." Ejek Vaya dengan tertawa keras. Vaya selalu puas jika Anindira sudah mencela Mika, karena Mika memang harus di kasarin agar hidupnya kembali lurus ke jalan yang sedikit benar.

Anin beranjak pergi menjauhi meja teman-temannya dan berjalan menuju bar. Ia memesan Ginger Ale agar sedikit menghangatkan badannya. Anggaplah ia sudah mulai bertaubat dengan mengurangi minum bir—tetapi dirinya juga ingin menjaga kesehatan. Sambil menunggu pesanan, Anin duduk di kursi bar sambil mengamati orang-orang yang sedang asyik berjoget ria di floor.

Tiba-tiba terdengar samar di telinganya, suara jeritan seorang wanita dari lorong main room yang beradu dengan dentuman musik club. Anin melirik para bartender dan juga orang-orang yang duduk didekatnya untuk memastikan apakah mereka mendengar suara teriakan tersebut.

Nihil. Tidak ada tanda-tanda kepedulian mereka.

AAAAAH.

Terdengar kembali dengan jelas suara teriakan perempuan dari lorong main room yang berada tak jauh dari meja bar. Anin dengan kepedulian sesama perempuan serta jiwa keingintahuannya yang tinggi, diam-diam melangkah pelan mendekati lorong main room.

"Siapa yang suruh lo ngikutin gue sampai ke sini, Brengsek?" Umpat seorang pria yang berdiri membelakangi Anin.

"Jawab, jalang." Pria itu menarik kencang rambut perempuan yang sudah tersungkur dibawah kakinya sambil meringis kesakitan.

Brengsek, Manusia tidak berprikemanusiaan. Anin jengah melihat kekerasan pria brengsek itu, persetan kalau memang perempuan itu salah atau benar, namun tindakan yang dilakukan pria itu sudah diluar batas.

Suara kesakitan dari perempuan tersebut, membuat Anin ingin menolongnya. Tiba-tiba mata Anin dan perempuan itu bertemu. Anin mencoba bertahan dari rasa takut karena keadaan yang mencekam, kemudia ia mengambil langkah pelan mendekat kearah mereka sambil menarik ujung telunjukknya kearah bibir dan satu tangannya mencari handphone di sekitar celana. Anin memberikan gerakan tubuh kepada perempuan itu untuk memberitahu bahwa ia akan menolongnya.

Perempuan itu tiba-tiba menangis sambil bertatapan dengan Anin.

"acting mu buruk, bitch. Kasih tahu sekarang siapa yang menyuruhmu, atau orang suruhanku akan membunuhmu."

Jangan ditanya mengapa saat ini Anin sangat berani, sesungguhnya ia sangat takut sampai setiap langkah kakinya bergemetar dan tangannya lemas sehingga ia sedikit kesulitan mengambil handphone di kantung celana.

Lo nggak akan mati, Nin. Kalau lo ketahuan, ambil langkah cepat berlari menuju meja bar. It's easy Nin. Lo nggak akan mati.

Cekrek. Cekrek. Cekrek. Cekrek. Cekrek.

Lampu flash dari kamera handphone Anin menyala terang di lorong yang remang-remang. Handphonenya sudah mengabadikan sebuah peristiwa penyiksaan yang telah dilakukan seorang pria brengsek di Lucy.

"Gue sudah foto peristiwa penyiksaan ini sebagai barang bukti untuk diadukan ke pihak bar dan polisi. Tolong segera lepaskan perempuan itu, brengsek."

Sesaat tubuh Anin membeku dan tidak dapat digerakkan saat ia melihat pria brengsek itu menoleh kearahnya dengan masih menggenggam rambut si perempuan.

Bibir Anin kelu. Tubuhnya bahkan tidak bisa bergeraksama sekali. Mati gue.









Hope you enjoy and like this story.

Don't forget to comment and like yaa.

Kritik dan saran kalian sangat penting untuk alur cerita ini :)

DUOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang