8

18 3 0
                                    

Kesulitan seolah menyerang Anin bertubi-tubi. Saat ini ia berjalan menuju ruang pak Rayan dengan langkah kaki pelan, namun tidak untuk jantungnya yang terus berdetak lebih cepat. Saat Anin masuk ke ruangan bosnya, ia segera bertatap muka dengan pak Rayan dan sekretarisnya. Tanpa sadar ia mencungkil kutikula di ujung kukunya saat ia sedang gugup untuk berhadapan dengan orang lain yang lebih dominan.

Sialan, wajah pak Rayan yang mengamuk selalu muncul di pikiran gue. Ya tuhan, lindungi hamba.

"Silakan duduk." Tutur pak Niko.

Anin bergegas untuk duduk berhadapan dengan bosnya. Pak Rayan memberikan sebuah map yang berisi dokumen dan berkas-berkas.

"Ini proyek resorts baru di Surabaya dan kita harus menang tender untuk proyek ini. Kalau syaratnya harus menjadi investor, kita harus menjadi investor yang lebih unggul dari perusahaan lain agar bisa merebut kepemilikan resorts tersebut. Saya meminta kamu untuk bisa bernegosiasi kepada pemilik resorts agar hak milik menjadi milik kita."

Anin yang sebelumnya gugup karena ia kira akan membahas peristiwa malam itu menjadi lebih santai. Ia menerima map yang diberikan oleh pak Rayan.

"Baik pak, akan saya usahakan semaksimal mungkin agar kita bisa memenangkan tender tersebut dan mendapatkan hak milik resorts baru di Surabaya."

"Terima kasih Anindira. Saya tunggu perkembangan informasi dari kerjaanmu." Ucap pak Rayan ramah.

"Baik pak. Saya akan segera memberitahu setiap perkembangan proyek ini." Pak Rayan hanya mengangguk dan tersenyum kecil. "Apakah saya boleh undur diri dari ruangan pak?" Tanya Anin berhati-hati.

Please boleh. Please.

"Tunggu Anindira." Mendadak pak Niko mencela ucapan yang harusnya dijawab oleh pak Rayan. "Saya tidak ingin berbasa-basi, saya ingin membahas kejadian anda dengan pak Rayan pada jumat malam di club."

Kembali jantung Anin berdegup dengan kencang, ia hanya bisa mengangguk pasrah.

"Sebelumnya, saya mendapatkan informasi dari Aldric.. maaf, maksud saya pak Rayan, bahwa anda sempat mengambil gambar pak Rayan saat kejadian yang kurang mengenakkan."

Anin terdiam sebentar. Mati, besok siap-siap jadi pengangguran lo Nin. "Be... benar pak."

Pak Rayan bergerak maju dan mendekatkan tubuhnya dengan meja agar menatap Anin lebih dekat.

"Anindira, saya sangat amat meminta maaf untuk kejadian buruk kemarin. Apakah saya melukaimu?"

Bapak melukai perasaan saya sampai saya ingin balas menghujat bapak.

Sayang, kalimat itu hanya bisa terucap di pikiran Anin. "Tidak sama sekali pak."

Anggaplah Anin bermuka dua, namun apalah daya seorang budak corporate yang akan selalu tunduk kepada bosnya kalau ia tidak ingin kehilangan pekerjaan.

"Sekali lagi saya mohon maaf, Anindira."

"Terkait foto yang kamu ambil, bisakah kamu menghapusnya sekarang?" Ucap pak Niko seperti mengancam.

Anin segera mengambil handphone di kantung celananya dan menghapus bukti foto kekerasan yang dilakukan pak Rayan. "Sudah saya hapus pak."

Ia langsung memperlihatkan galeri foto kepada pak Niko dan pak Rayan yang berada di hadapannya. Galeri foto yang kini hanya ada foto dirinya dan beberapa teman-temannya.

"Saya percaya kepadamu dan terima kasih atas kerja samanya, Anindira." Pak Niko tersenyum ramah ke arahnya.

Sesungguhnya ada banyak sekali pertanyaan yang ingin Anin ajukan kepada kedua atasannya, terutama pak direktur yang kini sedang tersenyum ramah seperti tidak terjadi apa-apa kemarin.

Anin hanya bisa merespons dengan senyum kecil. "Apakah saya bisa meninggalkan ruangan ini sekarang?"

Anin tidak ingin berlama-lama di ruangan si bos. Dirinya semakin tercekik jika menghabiskan waktu disini.

"Mungkin cukup. Ohiya, besok kami akan pergi menemui pemilik resorts, dan kamu diwajibkan untuk ikut. Kita akan berdiskusi dulu kepada pemilik resorts tersebut." Ucap pak Niko.

"Kita akan ke Surabaya pak?"

"Tidak Anindira. Kebetulan pemilik resorts sedang ada acara juga di Jakarta. Besok kamu harus sudah siap pukul 8." Jelas pak Rayan.

"Baik pak. Apakah sekarang saya bisa undur diri?" Tanyanya kembali.

"Silakan."

Sebelum Anin beranjak keluar dari ruangan pak Rayan, ia menoleh ke arah belakang dan bertatapan dengan mata memohon dari bosnya. "Saya harap kamu bisa melupakan kejadian di club itu, Anindira."

Anin yang mendengar itu hanya mampu tersenyum dan mengangguk kecil. Ia lalu menutup ruangan pak Rayan dan berdiam diri sebentar di luar ruangan. Anin menstabilkan napasnya yang terasa tercekik.

"Pak, sepertinya Anin akan dalam masalah. Aldric me..."

Mendengar perkataan yang bisa dipastikan Anin bahwa itu dari suara sekretaris bosnya, ia segera melangkah cepat menjauhi ruangan pak Rayan. Anin tidak siap mendengar kekhawatiran dari perkataan pak Niko.

Lupakan Nin, lupakan. Hidup lo udah cukup susah, jangan nambah susah lagi.

Anin memasuki lantai kerjanya dengan wajah lesu. Ia berjalan menuju pantry untuk membuat sesuatu yang bisa menghangatkan tubuhnya, terutama menghangatkan pikirannya.

Ia meletakkan map yang ia bawa di meja pantry dan mulai sibuk membuat teh hangat. Tenggorokannya sangat kering, ia membutuhkan penyegaran serta untuk menetralisir degup jantungnya.

"Wajah lo lecek banget kayak kertas contekan. Kenapa Nin? Kalau ada apa-apa, lo bisa cerita ke gue dan anak-anak kok." Putra yang baru masuk pantry berdiri menatap Anin yang berada di depannya.

"Emang keliatan banget ya? Cerita ke lo mah, sedetik kemudian juga satu lantai jadi tahu semua cerita gue."

Putra tertawa. "Tadi mbak Vero sampe khawatir. Muka lo asem banget abis keluar dari ruangan si bos."

"Biasa, kerjaan." Ucap Anin berbohong sambil mengaduk tehnya di meja pantry.

"Ada kerjaan baru lagi?"

"Proyek resorts baru di Surabaya."

"Wiih, welcome to lembur-lembur time dong kita." Ia tertawa. "Sebagai pegawai lama, gue hanya bisa memberikan semangat 45 ke lo. Kalau udah stress, inget aja badai pasti akan berlalu."

"Bijak banget lo, nggak cocok sama muka lo yang slengean."

"Sialan lo."

Anin membawa gelas teh dan map di kedua tangannya. "Gue ke meja dulu, Put." Ia berjalan keluar pantry dan menuju meja kerjanya. Anin dengan hati-hati meletakkan gelas tehnya di meja dan map yang ia pegang. Ia duduk di kursi sambil membuka galeri foto handphonenya.

Anin menekan folder Recently Deleted, tempat akhir semua foto yang sudah dihapus pada galeri foto sebelum di hilangkan selamanya dari handphone. Sesaat ia terdiam, jarinya menekan satu foto kejadian yang menampakkan wajah si bos. Anin lama mengamati foto tersebut dan memutuskan untuk mengembalikan satu foto tersebut ke dalam galeri foto dan menghapus semua foto dari folder Recently Deleted untuk dihilangkan.

Bodoamat gue main curang. Kalau tiba-tiba gue di pecat dari kantor, gue bisapublish foto fenomenal ini sebagai pertahanan diri agar gue nggak di pecat, gumam Anin di dalam pikirannya sambil tertawa puas.    




Hope you enjoy and like this story.

Don't forget to comment and like yaa.

Kritik dan saran kalian sangat penting untuk alur cerita ini :)

DUOSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang