02. Headline

6.3K 875 113
                                    

Kota New York yang sibuk selalu dipadati penduduknya, tak peduli siang maupun malam, mobilitas seolah tiada hentinya. Bahkan ketika mentari baru saja menunjukkan sinarnya malu-malu, jalan-jalan raya sudah dipenuhi oleh orang-orang yang memulai aktifitas.

Namun, meskipun di luaran sudah bising oleh hiruk pikuk, di salah satu gedung apartemen mewah, sesosok pemuda masih bergelung dibalik selimut. Tubuhnya yang jangkung dan besar, membuat sosoknya terlihat seperti beruang yang sedang hibernasi. Ruangan itu hening, hanya ada suara detak jam digital dan nafas teratur pemuda itu. Sampai beberapa saat berselang, getar benda persegi yang sejak tadi menghitam di atas nakas, berbunyi nyaring.

Drrt. . . Drrt. . .

Bunyi getar yang merusak keheningan pagi itu, membuat pemuda itu mulai terusik dari lelapnya. Tangannya bergerak-gerak meraih ponsel itu, sesaat setelah benda persegi itu menempel di telinga nya, seketika teriakan yang melewati ambang batas pendengaran itu menyapa telinga nya.

"WHERE ARE YOU JOHNNY FUCKING SUH?!"

Pemuda itu terlonjak, lantas tanpa sadar melompat terduduk. Dia menjauhkan ponselnya lantas mengucek mata. Dengan setengah sadar dia melihat layar ponselnya yang menunjukkan id penelepon. Ternyata adalah Richard Branson, manajer nya.

"Calm down, dude." Johnny menarik nafas panjang.

"Bagaimana aku bisa tenang kalau nama mu jadi headline di semua media?!" Richard lagi-lagi mengomel, suaranya membuat telinga Johnny berdengung.

"Sebentar, nanti ku telepon balik." Johnny memutuskan sambungan, menyambungkan ponselnya dengan layanan internet, dan sesaat kemudian bunyi 'beep' yang tiada putus-putusnya menyerang kolom notifikasi nya.

"Ah sial, aku bisa gila kalau begini." Dia melempar ponselnya yang tak henti berbunyi 'beep' itu.

Turun dari ranjang dan pergi meninggalkan satu-satunya kamar di unit apartemen itu. Membawa langkah nya ke dapur, dia di sambut oleh botol-botol minuman keras yang berbaris memenuhi konter dapur nya.

Johnny menghela nafas, ia menghampiri kulkas dan berharap ada sesuatu yang bisa dimakan disana. Well, setidaknya dia punya roti tawar disana. Mari berharap kalau dia punya selainya.

Sialnya, selai stroberi yang biasanya menemani pagi nya itu habis. Dan membuat Johnny mau tak mau hanya sarapan roti tawar.

Pemuda jangkung itu membuka rak kontainer yang menempel di sepanjang dinding dapur, meraih salah satu toples dan bersyukur karena ada satu sachet kopi instan di sana.

Dia memanaskan air dengan teko listrik nya, lalu duduk di kursi konter sambil mengusap wajahnya. Berusaha mengumpulkan sisa-sisa kesadaran.

Sepuluh menit kemudian, di tangan kanannya sudah terdapat secangkir kopi mengepul, sedangkan ditangan kirinya terdapat dua lapis roti tawar.

Johnny membawa makanan nya ke ruang duduk, menyalakan tv dan menyamankan dirinya di sofa.

Baru dua detik punggungnya rileks menyentuh sandaran sofa, kini sudah ditegakkan lagi. Matanya terbelalak sejenak lalu detik berikutnya ia menarik nafas panjang. Raut lelah dan kesal memenuhi wajahnya yang tampan. Bagaimana tidak, saat ini dirinya menjadi berita utama pada acara gosip pagi.

"Aktor Johnny Suh kedapatan berkelahi di salah satu bar dalam keadaan mabuk."

Begitu kira-kira isi beritanya. Pantas saja Richard menyemprot nya tadi. Johnny merasakan kepalanya berdenyut nyeri dan ia mendadak pening. Terasa seperti sebuah batu menghantam bagian belakang kepalanya.

Johnny memijit pelipisnya, tangannya terangkat dan jari-jemarinya bergerak  mencoba meredakan pening yang kian menyerang.

Pandangan Johnny teralihkan pada pergelangan tangannya sendiri. Tempat tanda soulmate nya terpahat dalam. Sejenak Johnny termangu.

Omong-omong soal soulmate, di usianya yang sudah memasuki awal tiga puluhan ini ia sama sekali belum bertemu soulmate nya, belahan jiwanya. Jangankan bertemu, tanda-tanda soulmate nya akan muncul pun tak pernah ada.

Tanda soulmate itu biasanya menimbulkan reaksi tertentu, ketika sang pemilik tanda bertemu dengan belahan jiwanya. Beberapa merasakan gatal yang menyengat, beberapa merasa panas, bahkan ada juga yang terasa seperti tersengat listrik untuk sesaat.

Pikiran Johnny melayang jauh mengembara, ia sudah tidak peduli lagi dengan presenter acara gosip yang sekarang sedang menggunjingkan dirinya. Ia juga tidak peduli ponselnya yang lagi-lagi berdegetar bising diatas kasur, di kamarnya.

Hanya satu yang memenuhi pikiran Johnny saat ini, soulmate.

Dimanakah kira-kira belahan jiwanya itu?

Apakah dia baik-baik saja?

Bagaimana hari-hari nya?

Kenapa dia tak kunjung menampakkan dirinya?

Apa jangan-jangan soulmate nya berada di negara lain? Di benua yang berbeda? yang harus ditempuh dengan menyebrang lautan?

Atau malah soulmate nya itu berada di tempat yang lebih jauh lagi, di Atlantis misalnya?

Johnny bahkan mulai menduga kalau soulmate nya hidup di galaksi lain.

Tiba-tiba ia bergidik ngeri. Membayangkan kalau ternyata soulmate nya adalah makhluk luar angkasa dengan wujud mengerikan.

"Sudahlah Johnny Suh, fikiran mu mulai kacau."

Johnny mematikan televisi lalu memutuskan untuk masuk kamar mandi. Mungkin air dingin akan mengembalikan kewarasan nya.

🍁🍁🍁

Sesaat setelah Johnny keluar kamar mandi dengan handuk melilit pinggang, Richard sudah menodongnya dengan gulungan tabloid selebriti.

"Kau diminta datang kekantor oleh Madam Willis." Ucap pria berambut pirang cepak itu.

Richard itu memiliki perawakan yang lebih kecil dari Johnny, tingginya hanya sebahu pemuda jangkung itu, tapi tingkat kegalakan nya melebihi tinggi nya yang tidak seberapa itu.

"Astaga, aku bahkan belum pakai baju!" Johnny menepis gulungan koran itu dari wajahnya. Hari ini dia ada syuting iklan padahal, lalu malam harinya dia diundang acara talkshow.

Richard menurunkan tangannya, dia mengikuti Johnny yang sekarang masuk ke kamarnya.

"Katakan padaku, apa itu semua benar?" Richard melipat tangannya di depan dada, lalu bersandar di daun pintu kamar Johnny.

"Apanya?" Johnny dengan santai membuka lilitan handuknya, memakai pakaian dalamnya.

"Berkelahi di bar dan juga tentang Irene." Richard mendengus sesaat.

Johnny selesai memakai celana jeans dan juga kaus channel nya, dia meraih parka Gucci nya dan menatap Richard, heran.

"Irene?" Ulangnya, seingatnya hanya berkelahi di bar saja.

Richard memejamkan matanya, mencoba mensabar-sabarkan dirinya. Dia baru enam bulan menjadi manajer Johnny, dan selama enam bulan itu juga hidupnya tak pernah tenang. Aktor di depannya ini selalu punya banyak rumor dan skandal.

"Agensi Irene mengatakan pada media kalau aktris nya itu berkencan denganmu, dan sekarang hamil delapan Minggu."

Johnny melotot mendengar nya. "Sinting!" Makinya.

Richard menarik nafas panjang entah yang keberapa kalinya. "Katakan padaku itu tak benar."

Johnny mencengkeram bahu Richard dengan tatapan tajam dan ia menggeram singkat seperti beruang Grizzly yang merasa terganggu.

"Gadis gila itu, aku bahkan tak pernah tidur dengannya!" Seru Johnny meledakan kekesalan nya.

Ia mendengus lalu melepas cengkeraman nya pada bahu manajernya. Berjalan meninggalkan kamarnya.

"Lagipula, siapa juga yang tergoda pada perempuan yang rata depan belakang seperti papan setrikaan itu?!"

Sepanjang jalan menuju mobil, tak henti-hentinya Johnny menggerutu. Sementara Richard membuntutinya dari belakang. Kalau perihal berkelahi di bar itu memang benar, ia memang menghajar aktor saingannya kemarin. Tapi perihal kehamilan Irene, tentu saja itu diluar tanggung jawabnya.

Johnny memandang jalan-jalan dari kaca mobilnya. Dalam hati ia merutuj kenapa hidupnya tak pernah berjalan lancar.

🍁🍁🍁

Two Weeks: Destiny Line (JOHNJAE FANFICTION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang