(Bab 10)

142 3 0
                                    

Bab  10

Tubuh  yang  lunglai  itu  tergeletak  sampai  siang  hari.
Nanda  bagai  habis  mengadakan  perjalanan  jauh.
Tulang-tulangnya terasa  ngilu  semua.  Ia  meninggalkan  motel  itu antara  pukul  12  siang.  Ia  tidak  langsung  ke  rumah,  melainkan ke  kampus,  karena  hari  itu  ia  punya  acara:  mengadakan audensi  dengan  salah  seorang  tokoh  bersama  dua  temannya.
Namun,  ternyata  benaknya  sudah  telanjur  dipenuhi  oleh kesan  indah  dan  manis  dari  Ayu.

Berulangkali ia mengalihkan  pikirannya,  tanpa  sadar  toh  kembali  juga  ke masalah  Ayu.
Ia  memang  pernah  punya  perasaan  cinta.  Ia pernah  menyukai  seorang  gadis.  Tetapi,  tidak  seperti  kali  ini perasaan  suka  kepada  gadis  yang  ia  rasakan.
Kali  ini  ia  benar-benar terpaku  oleh  perasaan  cintanya  kepada  Ayu.
Ia  seperti belum  pernah  mengenal  cinta  sebelumnya.  Bahkan,  dalam  hati ia  berkata,  "Aku  seperti  anak  ingusan  yang  baru  pertama  kali ini  disentuh  wanita.

Padahal  aku  sering  mencium  Lia  sewaktu di  SMA.
Aku  juga  sering  berciuman  dengan  Laila.  Bahkan  aku pernah  tidur  dengan  Pungki.  Tetapi,  mengapa  mereka  tidak meninggalkan  kesan  yang  mematri  di  hatiku?
Mengapa mereka  jauh  berbeda  dengan  Ayu?
Kesannya  begitu  kuat, membuat  aku  tak  mampu  mengalihkan  konsentrasiku  walau sekejap.
Oh...  luar  biasa  daya  tariknya.  Luar  biasa  kecantikan itu.
Pantas  kalau  Mahmud  dan  yang  lainnya  tega  melakukan bunuh  diri  demi  cintanya  yang  tak  tercapai  itu."

Dalam  perjalanan  ke  kampus,  mendadak  Nanda  menjadi tegang.  Hatinya  berdebar-debar  setelah  ia  ingat  kematian Mahmud,  Didi,  dan  Indra.
Ia  menggumam  sendiri  di  dalam mobilnya,  "Mereka  mati  dengan  cara  bunuh  diri.
Mereka bunuh  diri  karena  rindu  pada  Ayu.
Mereka  rindu,  karena mereka  jatuh  cinta  pada  Ayu.
Lalu,  bagaimana  dengan  aku? Apakah  aku  tidak  akan  berbuat  seperti  Mahmud,  Didi,  dan Indra?
Oh,  jangan!  Jangan  sampai  aku  sepicik  mereka.
Aku harus  tegar,  tak  mau  jatuh  karena  perempuan.  Tapi...?" Nanda  berkerut  dahi.

Ia  melanjutkan  kata-katanya  dalam bentuk  kecamuk  di  dalam  hati.
"Tapi,  Ayu  meninggalkan  pesan  yang  misterius.  Saat  ia sebelum  pergi,  sebelum  ia  mengecup  bibirku  yang  terakhir kali,  aku  mendengar  ia  menyuruhku  berhati-hati.
Ada  sebaris kata  yang  aneh.  Mudah-mudahan  ia  tidak  mengancammu'. Ia...?!
Siapa  yang  dimaksud  'ia'  oleh  Ayu  itu?  Benarkah  diriku terancam?
Oleh  siapa  sebenarnya?
Kekasih  Ayu?
Kekasihnya yang  telah  tega  membunuhnya  itu?
Lah,  brengsek  amat  kalimat itu.  Menghantui  pikiranku  terus.
Siapa  sih  sebenarnya  yang  di maksud  itu...?!"

"Pucat  sekali  kau!"  tegur  Ade  di  pintu  gerbang  kampus.
Waktu  itu,  Nanda  sedang  menuju  ke gedung  rektorat setelah  memarkirkan  mobilnya.
"Kau  habis  begadang,  ya? Atau...  sakit?"
"Apakah  aku  kelihatan  pucat?!"
"Ya,  pucat  sekali,"  jawab  Ade  tegas.  Nanda  jadi  gelisah.
"Aku  ingin  membicarakan  sesuatu  kepadamu,  De.  Tapi, tunggu  sebentar,  aku  punya  urusan  penting."
"Oke.  Aku  nongkrong  di  kantin!  Kutunggu  kau  di  sana, Nan."
Ragu-ragu  Nanda  jadinya.
Wajahnya  pucat  pasi.  Semua temannya  yang  berpapasan  dengannya  mengatakan  begitu.

Malahan  seorang  dosen  yang  berpapasan  dengannya  juga menyarankan,  "Pulanglah!
Jangan  paksakan  diri  kalau  kau  dalam  keadaan  sakit.
Ilmu  bisa  dicari  sampai  tua,  tapi  nyawa seseorang  tidak  bisa  dicari  lagi.  Sekali  hilang,  akan  selamanya hilang." Setelah  bertemu  dengan  temannya  yang  punya  urusan sama,  Nanda  juga  dianjurkan  untuk  pulang.
Justru  temannya kelihatan  cemas  dan  berkata,  "Kau  benar-benar  seperti  mayat, Nan.
Aku  kuatir  kau  akan  mengalami  naas  di  sini!  Pulanglah. Biar  aku  yang  mengurus  masalah  kita  ini."
Nanda  tidak  langsung  pulang,  melainkan  langsung  ke kantin  menemui  Ade.

Girl At Middle Night.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang