(BAB 1) Bunuh Diri atau Dibunuh ?

405 10 0
                                    

SEJAK  tadi  suara  itu  mengganggunya.  Suara  seorang perempuan  yang  penuh  desah  kemanjaan  itu,  seakan memanggil  Mahmud  beberapa  kali.  Dahi  Mahmud  berkerut, hatinya  bimbang  dengan  pendengarannya.  Menurutnya,  tak mungkin  ada  perempuan  yang  memanggilnya  di  tengah malam.

Mahmud sengaja  melupakan  suara  itu.  Ia  mendengar langkah  kaki  di  depan  kamarnya,  tapi  ia  tahu  itu  langkah  kaki Adi,  teman  satu  pondokan.  Ia  bergegas  membuka  pintu kamarnya  dan  memanggil  Adi  yang  hendak  masuk  ke kamar  sebelah.
"Di...  jam  berapa  ini?"  tanya  Mahmud. "Setengah  satu  kurang,"  jawab  Adi sambil  membetulkan celananya.  Agaknya  ia  habis  dari  kamar  mandi  untuk  buang air.  Adi  justru  berkata,  "Kau  sendiri  kan  punya  arloji,  masa' masih  tanya  aku?" "Arlojiku  mati!  Eh,  sebentar,  Di !"
Mahmud  keluar  dari kamarnya,  tidak  sekadar  melongokkan  kepala.  Ia  mendekati Adi  yang  berdiri  di  ambang  pintu  kamarnya  sendiri.  Dengan nada  berbisik  Mahmud  bertanya, "Di,  kau  tadi  waktu  ke  kamar  mandi  melihat  ada perempuan  di  sekitar  sini?" "Maksudmu?"  Adi berkerut  dahi. "Aku  mendengar  suara  perempuan  di  samping  kamar,  la seakan  memangil-manggil  aku." "Perek.  mungkin!"  jawab  Adi  seenaknya.  Mahmud  hanya mendesah.
"Aku  serius,  Di.  Dari  tadi  aku  tidak  bisa  tidur  karena mendengar  suaranya." Adi berpikir  sejenak,  tubuhnya  bersandar  pada  kusen pintu.  Seingatnya,  waktu  ia  ke  kamar  mandi,  ia  tidak  melihat sekelebat  manusia.  Pondokan  itu  sepi.  Maklum  sudah  lewat tengah  malam.  Beberapa  mahasiswa  yang  kost  di  situ kebanyakan  sudah  tidur.  Kalau  toh  ada,  mereka  pasti  di  dalam kamar  menekuni  bukunya. "Menurutku,  kau  hanya  terngiang-ngiang  cewekmu  saja," kata  Adi. "Maksudmu,  Ayu?  Ah,  suara  Ayu  tidak  seperti  itu."
"Kalau  begitu,  kau  hanya  mendengar  suara  hatimu  saja. Halusinasi!  Ah,  ngapain  repot-repot  memikirkan  suara,  kau kan  bukan  penata  rekaman!" Adi  masuk,  menutup  kamarnya.  Mahmud  mengeluh dalam  desah  napas  tipis.  Ia  berhenti  sejenak  ketika  mau masuk  ke  kamarnya.  Matanya  memandang  sekeliling.  Oh, pondokan  itu  amat  sepi.  Lengang.  Didi  yang  biasanya  masih memutar  kaset  sampai  jauh  malam,  kali  ini  agaknya  sudah tidur.  Lampu  di  kamarnya  telah  padam.  Lampu-lampu  di kamar  lain  pun  padam.  Hanya  ada  dua  kamar  yang  lampunya masih  menyala,  kamar  Imam  dan  kamar  Indra.  Mungkin mereka  sedang  menekuni  materi  ujiannya  untuk  besok. Tengkuk  kepala  meremang  lagi,  Mahmud  bergidik. Badannya  bergerak  dalam  sentakan  halus.  Karena,  ketika  ia masuk  ke  kamar  dan  hendak  menutup  pintu,  ia  mendengar suara  perempuan  dalam  desah  kemanjaan  yang memanggilnya.
"Mahmuuud...!  Mahmuuud...." Lampu  kamar  Mahmud  sengaja  diredupkan.  Ia  menyalakan lampu  biru  10  watt  sejak  tadi.  Menurut  kebiasaannya,  tidur dengan  nyala  lampu  biru  yang  remang-remang  membuat kesejukan  tersendiri  dalam  hatinya.  Namun,  kali  ini,  kesejukan itu  tidak  ada.  Yang  ada  hanya  kegelisahan  dari  kecamuk  hati yang  terheran-heran  atas  terdengarnya  suara  panggilan  itu. Angin  malam  lewat.  Desaunya  terasa  menerobos  dari lubang  angin  yang  ada  di  atas  jendela  kamar.  Suara  itu terdengar  lagi  setelah  dua  menit  kemudian. "Mahmuuud...!  Datanglah...!" Dengan  berkerut-kerut  dahi,  Mahmud  bangkit  dari rebahannya.  "Suara  itu  seperti  berada  di  luar  jendela,"  pikir Mahmud.  Kemudian,  ia  mendekati  pintu  jendela.  Ingin membuka  jendela,  tetapi  ragu.  Hatinya  berkata,  "Tidak mungkin  ada  perempuan  di  luar  jendela.  Dari  mana  ia  masuk? Pintu  pagar  dikunci.  Tidak  mungkin  ia  memanjat  pagar.  Kalau memang  ada  perempuan  yang  memanjat  pagar,  itu  nekat namanya."

Kemudian,  telinga  Mahmud  agak  ditempelkan  pada  daun jendela.  Tapi  yang  didengar  hanya  suara  desau  angin, gemerisik  dedaunan.  Kamar  Mahmud  memang  kamar  paling ujung  dari  sederetan  kamar  kost-kostan  itu.  Di  samping kamar,  di  seberang  jendela  itu,  adalah  sebidang  tanah  yang biasa  dipakai  olahraga.  Ada  lapangan  bulu  tangkis,  dan  meja ping-pong  yang  jika  malam  begitu  dalam  posisi  miring, menempel  dinding  kamar  Mahmud.  Tanah  yang  merupakan fasilitas  olah  raga  itu  dikelilingi  oleh  pagar  tembok.  Pada bagian  atas  pagar  diberi  kawat  berduri  sebagai  penolak  tamu tak  diundang.  Di  seberang  pagar  tembok  itu  ada  pohon rambutan  milik  tetangga  belakang  pondokan.  Sebagian  daun dan  dahan  pohon  itu  menjorok  ke  halaman  pondokan,  dan meneduhkan  bagi  mereka  yang  bermain  pingpong  jika  siang hari. Mahmud  sudah  tiga  menit  lebih  berdiri  di  depan  jendela, tetapi  suara  perempuan  yang  menggairahkan  itu  tidak terdengar  lagi.  Maka,  ia  kembali  ke  pembaringan  dan merebahkan  badan..  Ia  kelihatan  resah.  Batinnya  bertanya-tanya, "Mengapa  aku  mendengar  suara  itu?  Dan,  sepertinya memang  aku  pernah  mendengar  suara  itu.  Suara  siapa,  ya?"
Ada  gonggongan  anjing  dari  rumah  belakang  pondokan. Gonggongan  anjing  itu  mulanya  hanya  sesekali.  Ditilik  dari nada  gonggongannya,  anjing  itu  seakan  sedang  menggoda orang  lewat. Tetapi,  gonggongan  anjing  itu  lama-lama  jadi  memanjang. Mengalun  mendayu-dayu  mirip  irama  orang  merintih kesakitan.  Suara  anjing  itu  menyatu  dengan  suara  perempuan yang  kian  jelas  di  pendengaran  Mahmud. "Mahmuuud...!  Muuud...!  Lupakah  kauuu...?  Lupakah  kau padaku,  Mahmud...!"
Mahmud  segera  melompat  dari  pembaringannya,  dan membuka  jendela.  Jantungnya  berdetak-detak  ketika wajahnya  diterpa  angin  yang  berhembus  membawa  udara dingin.  Sekujur  tubuhnya  merinding.  Matanya  melebar,  karena ia  tidak  menemukan  siapa-siapa  di  luar  jendela  kamarnya.
Padahal  suara  tadi  jelas  terdengar  di  depan  jendela,  seakan mulut  perempuan  itu  ditempelkan  pada  celah  jendela  supaya suaranya  didengar  Mahmud.  Tetapi,  nyatanya  keadaan  di  luar kamar  sepi-sepi  saja. "Brengsek!"  geram  Mahmud.  Ia  menunggu  beberapa  saat, sengaja  membuka  jendelanya,  sengaja  membiarkan  angin dingin  menerpa  masuk  ke  kamar.  Suara  perempuan  yang penuh  desah  menggairahkan  itu  tidak  terdengar  lagi. Mahmud  mengeluh  kesal  sambil  duduk  di  kursi  belajarnya. Ia  menyalakan  lampu  belajar  yang  ada  di  meja  kamar.  Kamar menjadi  terang.  Cermin  di  depan  meja  belajar  menampakkan wajahnya  yang  sayu. Pintu  kamarnya  tiba-tiba  ada  yang  mengetuknya  dengan lembut.  Pelan  sekali,  seakan  pe-ngetuknya  sengaja  hati-hati supaya  suara  ketukan  tidak  didengar  penghuni  pondokan  yang lainnya.  Mahmud  melirik  ke  arah  pintu.  Membiarkan  ketukan itu  terulang  beberapa  kali.  Lalu,  ia  mendengar  suara perempuan  di  seberang  pintunya.  "Muud...?  Mahmud...!"
"Siapa...?!"  tanya  Mahmud  dengan  nada  kesal,  karena  ia tahu,  bahwa  suara  perempuan  yang  mengetuk  pintu kamarnya  itu  sama  persis  dengan  suara  yang  mengganggunya sejak  tadi.  Tapi,  karena  tidak  ada  jawaban  dari  pengetuk pintu,  Mahmud  berseru  lagi,  "Siapa  sih?!  Jawab  dong!" "Aku...!" "Aku  siapa?!  Sebutkan!"  Mahmud  sudah  berdiri  walau  belum mendekat  ke  pintu. "Ayu...." Mata  Mahmud  jadi  membelalak.  Kaget.  "Ayu...?!" desahnya  dengan  nada  heran  sekali.  Ia  mengenal  pemilik nama  itu,  tapi  ia  sama  sekali  tidak  menyangka  kalau  Ayu akan  datang,  apalagi  lewat  tengah  malam  begini.  Mahmud  pun akhirnya  bergegas  membukakan  pintu  setelah  ia  sadar,  bahwa suara  yang  sejak  tadi  memanggilnya  itu  memang  suara  Ayu. "Sebentar,  Yu...!"  kata  Mahmud,  yang  kemudian  segera membukakan  pintu.  "Hah...?!"  Ia  terperanjat  dengan  jantung berdetak-detak.

Girl At Middle Night.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang