SEJAK tadi suara itu mengganggunya. Suara seorang perempuan yang penuh desah kemanjaan itu, seakan memanggil Mahmud beberapa kali. Dahi Mahmud berkerut, hatinya bimbang dengan pendengarannya. Menurutnya, tak mungkin ada perempuan yang memanggilnya di tengah malam.
Mahmud sengaja melupakan suara itu. Ia mendengar langkah kaki di depan kamarnya, tapi ia tahu itu langkah kaki Adi, teman satu pondokan. Ia bergegas membuka pintu kamarnya dan memanggil Adi yang hendak masuk ke kamar sebelah.
"Di... jam berapa ini?" tanya Mahmud. "Setengah satu kurang," jawab Adi sambil membetulkan celananya. Agaknya ia habis dari kamar mandi untuk buang air. Adi justru berkata, "Kau sendiri kan punya arloji, masa' masih tanya aku?" "Arlojiku mati! Eh, sebentar, Di !"
Mahmud keluar dari kamarnya, tidak sekadar melongokkan kepala. Ia mendekati Adi yang berdiri di ambang pintu kamarnya sendiri. Dengan nada berbisik Mahmud bertanya, "Di, kau tadi waktu ke kamar mandi melihat ada perempuan di sekitar sini?" "Maksudmu?" Adi berkerut dahi. "Aku mendengar suara perempuan di samping kamar, la seakan memangil-manggil aku." "Perek. mungkin!" jawab Adi seenaknya. Mahmud hanya mendesah.
"Aku serius, Di. Dari tadi aku tidak bisa tidur karena mendengar suaranya." Adi berpikir sejenak, tubuhnya bersandar pada kusen pintu. Seingatnya, waktu ia ke kamar mandi, ia tidak melihat sekelebat manusia. Pondokan itu sepi. Maklum sudah lewat tengah malam. Beberapa mahasiswa yang kost di situ kebanyakan sudah tidur. Kalau toh ada, mereka pasti di dalam kamar menekuni bukunya. "Menurutku, kau hanya terngiang-ngiang cewekmu saja," kata Adi. "Maksudmu, Ayu? Ah, suara Ayu tidak seperti itu."
"Kalau begitu, kau hanya mendengar suara hatimu saja. Halusinasi! Ah, ngapain repot-repot memikirkan suara, kau kan bukan penata rekaman!" Adi masuk, menutup kamarnya. Mahmud mengeluh dalam desah napas tipis. Ia berhenti sejenak ketika mau masuk ke kamarnya. Matanya memandang sekeliling. Oh, pondokan itu amat sepi. Lengang. Didi yang biasanya masih memutar kaset sampai jauh malam, kali ini agaknya sudah tidur. Lampu di kamarnya telah padam. Lampu-lampu di kamar lain pun padam. Hanya ada dua kamar yang lampunya masih menyala, kamar Imam dan kamar Indra. Mungkin mereka sedang menekuni materi ujiannya untuk besok. Tengkuk kepala meremang lagi, Mahmud bergidik. Badannya bergerak dalam sentakan halus. Karena, ketika ia masuk ke kamar dan hendak menutup pintu, ia mendengar suara perempuan dalam desah kemanjaan yang memanggilnya.
"Mahmuuud...! Mahmuuud...." Lampu kamar Mahmud sengaja diredupkan. Ia menyalakan lampu biru 10 watt sejak tadi. Menurut kebiasaannya, tidur dengan nyala lampu biru yang remang-remang membuat kesejukan tersendiri dalam hatinya. Namun, kali ini, kesejukan itu tidak ada. Yang ada hanya kegelisahan dari kecamuk hati yang terheran-heran atas terdengarnya suara panggilan itu. Angin malam lewat. Desaunya terasa menerobos dari lubang angin yang ada di atas jendela kamar. Suara itu terdengar lagi setelah dua menit kemudian. "Mahmuuud...! Datanglah...!" Dengan berkerut-kerut dahi, Mahmud bangkit dari rebahannya. "Suara itu seperti berada di luar jendela," pikir Mahmud. Kemudian, ia mendekati pintu jendela. Ingin membuka jendela, tetapi ragu. Hatinya berkata, "Tidak mungkin ada perempuan di luar jendela. Dari mana ia masuk? Pintu pagar dikunci. Tidak mungkin ia memanjat pagar. Kalau memang ada perempuan yang memanjat pagar, itu nekat namanya."Kemudian, telinga Mahmud agak ditempelkan pada daun jendela. Tapi yang didengar hanya suara desau angin, gemerisik dedaunan. Kamar Mahmud memang kamar paling ujung dari sederetan kamar kost-kostan itu. Di samping kamar, di seberang jendela itu, adalah sebidang tanah yang biasa dipakai olahraga. Ada lapangan bulu tangkis, dan meja ping-pong yang jika malam begitu dalam posisi miring, menempel dinding kamar Mahmud. Tanah yang merupakan fasilitas olah raga itu dikelilingi oleh pagar tembok. Pada bagian atas pagar diberi kawat berduri sebagai penolak tamu tak diundang. Di seberang pagar tembok itu ada pohon rambutan milik tetangga belakang pondokan. Sebagian daun dan dahan pohon itu menjorok ke halaman pondokan, dan meneduhkan bagi mereka yang bermain pingpong jika siang hari. Mahmud sudah tiga menit lebih berdiri di depan jendela, tetapi suara perempuan yang menggairahkan itu tidak terdengar lagi. Maka, ia kembali ke pembaringan dan merebahkan badan.. Ia kelihatan resah. Batinnya bertanya-tanya, "Mengapa aku mendengar suara itu? Dan, sepertinya memang aku pernah mendengar suara itu. Suara siapa, ya?"
Ada gonggongan anjing dari rumah belakang pondokan. Gonggongan anjing itu mulanya hanya sesekali. Ditilik dari nada gonggongannya, anjing itu seakan sedang menggoda orang lewat. Tetapi, gonggongan anjing itu lama-lama jadi memanjang. Mengalun mendayu-dayu mirip irama orang merintih kesakitan. Suara anjing itu menyatu dengan suara perempuan yang kian jelas di pendengaran Mahmud. "Mahmuuud...! Muuud...! Lupakah kauuu...? Lupakah kau padaku, Mahmud...!"
Mahmud segera melompat dari pembaringannya, dan membuka jendela. Jantungnya berdetak-detak ketika wajahnya diterpa angin yang berhembus membawa udara dingin. Sekujur tubuhnya merinding. Matanya melebar, karena ia tidak menemukan siapa-siapa di luar jendela kamarnya.
Padahal suara tadi jelas terdengar di depan jendela, seakan mulut perempuan itu ditempelkan pada celah jendela supaya suaranya didengar Mahmud. Tetapi, nyatanya keadaan di luar kamar sepi-sepi saja. "Brengsek!" geram Mahmud. Ia menunggu beberapa saat, sengaja membuka jendelanya, sengaja membiarkan angin dingin menerpa masuk ke kamar. Suara perempuan yang penuh desah menggairahkan itu tidak terdengar lagi. Mahmud mengeluh kesal sambil duduk di kursi belajarnya. Ia menyalakan lampu belajar yang ada di meja kamar. Kamar menjadi terang. Cermin di depan meja belajar menampakkan wajahnya yang sayu. Pintu kamarnya tiba-tiba ada yang mengetuknya dengan lembut. Pelan sekali, seakan pe-ngetuknya sengaja hati-hati supaya suara ketukan tidak didengar penghuni pondokan yang lainnya. Mahmud melirik ke arah pintu. Membiarkan ketukan itu terulang beberapa kali. Lalu, ia mendengar suara perempuan di seberang pintunya. "Muud...? Mahmud...!"
"Siapa...?!" tanya Mahmud dengan nada kesal, karena ia tahu, bahwa suara perempuan yang mengetuk pintu kamarnya itu sama persis dengan suara yang mengganggunya sejak tadi. Tapi, karena tidak ada jawaban dari pengetuk pintu, Mahmud berseru lagi, "Siapa sih?! Jawab dong!" "Aku...!" "Aku siapa?! Sebutkan!" Mahmud sudah berdiri walau belum mendekat ke pintu. "Ayu...." Mata Mahmud jadi membelalak. Kaget. "Ayu...?!" desahnya dengan nada heran sekali. Ia mengenal pemilik nama itu, tapi ia sama sekali tidak menyangka kalau Ayu akan datang, apalagi lewat tengah malam begini. Mahmud pun akhirnya bergegas membukakan pintu setelah ia sadar, bahwa suara yang sejak tadi memanggilnya itu memang suara Ayu. "Sebentar, Yu...!" kata Mahmud, yang kemudian segera membukakan pintu. "Hah...?!" Ia terperanjat dengan jantung berdetak-detak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Girl At Middle Night.
TerrorTakkan ada yang menyangka bahwa Mahmud bunuh diri dengan cara yang tidak wajar,banyak spekulasi yang bermunculan di antara teman² kampusnya,apakah bunuh diri ataukah di bunuh ?