(BAB 3)

190 5 0
                                    

BAB 3

Jawaban petugas dianggap hal yang wajar. Pada umumnya mereka saling berlagak tidak mengenal perempuan panggilan, tidak menyediakan hostes, tidak menyediakan wanita penghibur, dan semua itu hanya kamuflase saja. 

Didi dan Nanda sudah tidak heran lagi. Mereka tetap menempati kamar-kamar yang telah dipesan.
Kamar-kamar itu merupakan sebuah bangunan tersendiri, berbentuk semacam rumah-rumah penduduk yang satu dengan yang lainnya terpisah. Bangunan-bangunan tersebut tidak memakai nomor, melainkan memakai nama bunga.
Dalam setiap rumah motel, terisi beberapa perabot rumah tangga, terdiri dari satu ruang tamu, satu ruang tidur berukuran besar, dapur, dan kamar mandi.
"Kau di kamar mana? Melati atau Seruni?" tanya Nanda kepada Didi.
"Aku di Seruni saja. Tapi, bagaimana dengan Ayu? 
Kalau mereka tidak bisa menyediakan perempuan itu, kita sia-sia bermalam di sini!"
"Bisa kita atur lewat telepon, nanti. Biar aku yang bicara."
"Kau sendiri mau pakai dia?" tanya Didi.
"Pakai dan tidak itu urusan nanti. Tapi, kalau Ayu sudah datang, segera kau telepon aku melalui kamarmu. Kita akan bicara bertiga, siapa tahu bisa menyimpulkan sesuatu yang berguna. Aku sendiri tidak perlu perempuan lain.
Aku hanya ingin bertemu dengan Ayu, ingin melihat seperti apa perempuan itu."

Mereka masuk ke motel itu memang sudah malam. Pukul 8 mereka memesan kamar tersebut. Letaknya berseberangan. Masing-masing mempunyai bangku taman di bawah payung berwarna-warni.
Telepon di kamar Didi berbunyi. Nanda yang menghubunginya.
Kata Nanda kepada Didi, "Aku sudah paksa petugas itu untuk mengirimkan penghibur hangat yang bernama Ayu. Kukirimkan ke kamarmu. Di." 
"Apa katanya, Nan?"
"Yah... mereka mau usahakan. Tapi, mulanya mereka ngotot dan tetap tidak mengaku mempunyai 'anak buah' yang bernama Ayu. Lalu. kubujuk mereka, kucoba untuk mencarinya, dan akhirnya mereka suruh kita menunggu, ha ha ha...," Nanda tertawa. 
"Agaknya Ayu perempuan yang cukup eksklusif," kata Didi dalam tersenyum. "Mungkin tidak semua orang bisa menemui Ayu, Nan. Kurasa tarifnya jauh di atas yang lain."
"Itu kan bisa diatur," kata Nanda dalam nada kelakar.

Suara debur ombak terdengar, karena memang motel itu dibangun di kawasan pantai. Adakalanya hembusan angin kian bergemuruh, seakan menyatu dengan deru ombak memecah karang.

Di dalam kamarnya, Didi mulai gelisah. Sudah pukul 11 malam, tak ada perempuan yang datang.
Nanda sempat mendatangi kamar Didi, karena berulangkali ia menelepon Didi dan menanyakan perempuan pesanannya, Didi selalu menjawab, "Belum datang."
Mungkin karena rasa penasaran yang menggelitik, maka Nanda pun datang ke kamar Didi itu. Dan, ia membuktikan sendiri bahwa di kamar itu Didi sendirian, tanpa teman wanita yang diharapkan.

"Aku sudah menghubungi resepsionis, dan menurutnya Ayu sedang dijemput," kata Nanda.
"Bersabarlah."
"Yang harus bersabar aku atau kamu? Kulihat kau yang kelihatan nggak sabar lagi, Nan," kata Didi seraya tertawa pelan.

Nanda kembali ke kamarnya: kamar Melati. Rupanya ada satu keisengan yang ia lakukan di kamarnya itu.
Tak jauh dari kamarnya, terdapat kamar motel lain. Kamar Mawar. Di kamar itu, agaknya penghuninya tidak menyadari kalau lampu terang di dalamnya menampakkan sebentuk bayangan dari luar kamar yang gelap. Dari jendela dapur, Nanda memperhatikan ruang tidur yang terang di kamar Mawar itu. Karena di sana tampak gerakan-gerakan dua orang yang bercumbu dalam bentuk bayangan. Dari kamar Didi, bayangan itu tak akan terlihat. Tapi, dari kamar Nanda bayangan dua makhluk bercumbu di atas ranjang itu terlihat jelas.

Didi sendiri asyik menikmati acara TV Barat yang menyajikan film kesukaannya. Ia tidak begitu menghiraukan apakah wanita pesanan itu akan hadir atau tidak. Ia juga tidak bertanya-tanya dalam hati: mengapa sampai larut malam perempuan itu belum muncul? Yang ada dalam pikiran Didi saat itu adalah rangkaian cerita film detektif yang menjadi kegemarannya.

Pukul 12 malam lewat dua menit, tiba-tiba TV menjadi buram. Seolah-olah salurannya terputus.
Layar TV menampakkan bintik-bintik seperti semut sedang kenduri. Saat itu, barulah Didi menyadari tujuan semula. Ia melirik arlojinya dan mendesah.
TV dimatikan, ia berbaring sambil mulai menerawang pada masa-masa kematian Mahmud.
Bayangan tubuh Mahmud yang bermandikan darah terpampang kembali dalam benaknya. Bergidik badan Didi mengingat kengerian itu. Meletup emosinya, ingin mengetahui penyebab kematian Mahmud.

Girl At Middle Night.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang