(BAB 6)

159 6 0
                                    

Malam  yang  hening  dan  angin  yang  bertiup  ke  arah  Utara, membuat.  Indra  berkerut  dahi  saat  meneguk  kopi  panas.
Suara  Didi  terdengar  sayup-sayup,  sejenak  meragukan  hati Indra.
"Ah,  tak  mungkin  itu  suara  Didi,"  pikirnya  sendiri,  dan  ia melanjutkan  menghirup  kopi  panasnya. Tetapi,  beberapa  saat  kemudian  anak  pemilik  warung  itu berkata  kepada  Indra,  "Bang,  sepertinya  itu  suara  teman Abang."
Sekali  lagi  Indra  berkerut  dahi  sambil  menelengkan  kepala, menyimak  suara  yang  ada  di  kejauhan.  Pemilik  warung  yang sudah  lanjut  usia  itu  juga  berkata  kepada  anaknya, "Iya,  ya?!  Sepertinya  itu  suara  orang  yang  tadi  ke  sana,  ya, Man?  Jangan-jangan  dia  dalam  bahaya,"  kalimat  terakhir ditujukan  kepada  Indra.

"Alaaah,  Mak!  Dia  itu  suka  bercanda.  Pak!
Jangan  mau percaya  dengan  lagaknya!  Pasti  dia  main-main  saja  itu!"
Indra tetap  tenang,  sedangkan  pemilik  warung  dan  anaknya kelihatan  menyimpan  kecemasan.

Didi  berusaha  mempercepat  larinya  sambil  tangan  kirinya memegangi  tangan  kanan  supaya  tak  bergerak.  Tapi, bagaimanapun  juga  kekuatan  tangan  kiri  itu  tidak  sebanding dengan  tangan  kanannya.
Sekali  lagi  tangan  kanannya bergerak  cepat  menampar  wajah  sendiri,  kemudian mencakarnya  dengan  ganas  dan  kuat  sehingga  sebagian  kulit wajah  Didi  mengelupas  perih. "Aaauw...!"  teriak  Didi  begitu  kuat  menahan  penderitaan itu.
"Indraaa...!  Indraaa...!
Aaaow...!"

Anak  pemilik  warung  segera  memandang  ke  arah  jalanan yang  sepi  dan  gelap  itu.
Ia  melihat  sesosok  bayangan  manusia yang  berlari  terhuyung-huyung  dengan  teriakan-teriakan  kian jelas.
Angin  yang  berhembus  kali  ini  berubah  arah, bertentangan  dengan  pelarian  Didi,  sehingga  suara teriakannya  nyaris  terbawa  angin  seluruhnya.

Hanya  anak pemilik  warung  itu  yang  mendengar  lebih  jelas,  sebab  ia melangkah  beberapa  meter  dari  depan  warungnya.
Ia  segera menghubungi  Indra  dan  berkata  dengan  tegang, "Bang!  Bang,  itu  teman  Abang  dalam  bahaya!  Ia  berlari-lari menuju  kemari!"
Indra  tertawa  dalam  gumam.
"Dia  pasti  ketakutan, disangkanya  ada  setan  yang  mengejarnya!
Mampuslah  kau! Sok  berani  dia!"
Indra  tetap  meremehkan  temannya  itu, sehingga  anak  pemilik  warung  menjadi  jengkel  sendiri.
Ia tinggalkan  saja  Indra  yang  menyepelekan  pemberitahuannya.

Ia  kembali  melangkah  di  tempatnya  semula  dan  memandang dengan  mata  menyipit, langkah-langkah  Didi  yang  mulai  tak mampu  secepat  semula.
Didi  tersungkur  jatuh  dengan  menggeram-geram, mengerahkan  tenaganya  untuk  melawan  gerakan  tangan kanannya  itu.  Tetapi,  kekuatannya  itu  tak  mampu  menguasai tangan  kanannya  yang  bergerak  sendiri  di  luar  keinginannya.

Bahkan  kali  ini  tangan  kanan  itu  menjambak  rambutnya sendiri,  kemudian  mengangkat  kepala  dan  membenturkan kepalanya  sendiri  ke  tanah.  Berkali-kali  tangan  kanan  itu membentur-benturkan  kepalanya  ke  tanah  hingga  kotor  dan berlumur  darah.
Sesekali  Didi  mencoba  menahan  hentakan kepalanya,  namun  selalu  gagal  dan  akhirnya  batu  runcing  pun mengenai  keningnya  beberapa  kali,  hingga  makin  deras  darah yang  mengalir  dari  wajahnya.
"Aaaow!  Aaaow!  Aaaow...!"
Didi  berteriak  kesakitan. Kemudian  ia  berusaha  sekuat  tenaga  untuk  bisa  berdiri. Dan, ia  berhasil.

Tangan  kanannya  bergerak  kaku  melepaskan rambutnya.  Gerakan  kaku  itu  akibat  kekuatan  Didi  memaksa agar  tangan  tersebut  tidak  bergerak.  Tangan  kirinya  segera menarik  turun  tangan  kanannya  dengan  kekuatan  yang terpaksa  menguras  tenaga.
Dalam  keadaan  melawan  kekuatan  gaib  yang  lelah  merasuk dalam  tangan  kanannya  itu,  Didi  tetap  melangkah  cepat, berlari  ke  arah  warung.

Girl At Middle Night.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang