tawa sinis

18 1 0
                                    

Nenek Jalusi, begitu dia dipanggil.
Rambut hitamnya sudah tertutupi uban-uban yang semakin lama semakin merata.

Setidaknya dia masih kuat berjalan diumurnya yang sekarang sudah mau menginjak satu abad.

Setidaknya dia masih bisa jika hanya sekedar berkeliling diluar rumah setiap pagi walaupun harus dengan tongkat.

Toh, kawan seumurannya sudah tidak ada lagi. Kurang beruntung apa coba?
Diberi umur panjang.

Herman, tetangga nenek Jalusi yang sudah lama tidak suka dengan tingkah laku nenek "lampir" itu.

Iya, dia memanggilnya nenek lampir semenjak istri dan anaknya meninggal secara mendadak 2 tahun yang lalu tepat ketika mereka baru menempati rumah itu beberapa hari.

Saat itu semua rekan, dan tetangga baru Herman berdatangan mengucapkan bela sungkawa kecuali tetangga terdekatnya, nenek Jalusi.

"Siapa nenek lampir itu sebenarnya?
Sepertinya dia tidak suka jika aku tinggal disini."

Ucap Herman sesaat setelah kepergian sang istri dan anaknya 2 tahun lalu.

Nenek Jalusi memperlihatkan wajah yang biasa-biasa saja saat Herman tertimpa musibah, bahkan sempat tersenyum sinis ketika Herman tak sengaja melihatnya diluar rumah dengan tongkatnya sambil menaburkan entah serbuk apa itu.

Dua tahun dengan rasa benci itu pada akhirnya Herman memutuskan untuk pergi kerumah nenek Jalusi dan memastikan bahwa dialah yang membunuh keluarga kecilnya, dalam pikirannya, nenek itu tidak lain adalah dukun pembunuh. Lihat saja penampilannya.

Kotor, bau.
Yang seharusnya mati itu bukan istrinya, tapi nenek lampir tua Bangka itu.

Dengan emosi yang meluap, Herman mengambil pisau dapur, mendatangi rumah Nenek Jalusi disuatu malam.

Tanpa basa-basi didobraknya pintu rumah gubuk nenek Jalusi dengan kasar.

"Keluar kau lampir"

Tidak ada jawaban, tak ada cahaya apapun didalam, hawa dingin menyelimuti badan Herman. Antara takut, hawatir dan lain sebagainya.

Akhirnya Herman memasuki rumah itu tanpa penerangan apapun.

"Kau tidak usah sembunyi,lampir"

Semakin lama Herman marasakan bau busuk semakin menyengat, semakin lama dadanya semakin sesak karena bau itu.

"Bau apa ini? Wekkkk"

Diapun keluar dengan nafas tersenggal. Sesampai dipintu rumah nenek Jalusi, dia sempat mendengar tawa sinis dari dalam rumah.

"Dasar nenek lampir"
Dia terus saja menggerutu hingga sampai dirumah.

Nafasnya masih saja tersenggal, sesak dan sulit untuk dikendalikan.
Dia rebahkan badannya di sofa ruang tamu, dia melirik keluar rumah, nenek Jalusi tengah berdiri dengan tongkatnya.

Samar-samar dalam gelap nenek itu terlihat tertawa sinis melihat keadaannya sekarang.

Nafasnya semakin berat.
Pandangannya kabur.

Keesokan harinya, Herman ditemukan meninggal dunia disofa itu.

Pada akhirnya rumah itu dihuni adik ipar Herman serta keluarganya.

Sepasang mata tengah membidik keluarga itu dari dalam gubuk tua, dan dengan lirih dia tersenyum sinis sembari mengucapkan sepatah kata.

"Hmmmm satu keluarga lagi"

"SHADOW" Dia selalu disiniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang