Untitled-Love must go on

575 61 8
                                    

Daehwi tidak pernah menyangka saat ini akan datang lagi. Daehwi tersenyum sumringah sepanjang hari meski dia tidak bisa mengucapkan sepatah katapun untuk mengungkapkan kebahagiaannya.

Bagi Daehwi, ibunya adalah segalanya. Dan Jinyoung hanya pernah menjadi segalanya, tapi tidak selamanya. Jinyoung yang ia harap akan tinggal, ternyata hanya singgah dihidupnya.

Ibunya sedang mengupas apel disamping ranjang Daehwi. Apel yang beliau beli dari supermarket yang ada didepan rumah sakit. Memotongnya menjadi bagian kecil agar Daehwi mudah memakannya.

Daehwi dengan sabar menunggu apelnya. Rasanya sudah lama sekali dia tidak seperti ini. Sudah cukup lama dia tidak diperhatikan seperti ini. Dan Daehwi bahagia sekarang.

Daehwi mengelus perutnya dengan tangan yang tersembunyi dibalik selimut. Membatin agar anaknya kelak akan mendapat kebahagiaan yang berlimpah tanpa harus kehilangan begitu banyak seperti dirinya.

"Aaaa." Ibu Daehwi mengarahkan sepotong apel kedepan mulut Daehwi. Dan langsung diterima Daehwi dengan senang hati.

Daehwi mengunyah apelnya dengan perlahan. Manis sekali apel ini. Apa memang semanis ini rasa apel itu? Atau karena tangan ibunya yang menyuapkan? Daehwi suka sekali hehehe.

Jika kalian lupa, Daehwi bahkan masih 16 tahun. Usia dimana dia harusnya menerima banyak cinta dari orang tuanya.

"Daehwi-ah, kita akan pindah keluar negeri. Daehwi ikut umma eum?" Ibu Daehwi mengusap pipi tirus anaknya.

"Eodiga?" Gerak bibir Daehwi berucap.

"Los Angeles." Jawab ibunya sembari tersenyum.

"Kenapa jauh?"

"Karena kita harus pergi sejauh mungkin dari korea." Ibu Daehwi berusaha memberi pengertian untuk anaknya.

"Tapi kenapa?"

"Daehwi-ah, Umma minta maaf. Ini semua salah Umma. Semua yang terjadi padamu, adalah kesalahan Umma. Maaf Daehwi-ah." Ibunya terisak sembari menggenggam erat telapak tangan Daehwi.

Daehwi ikut menangis saat ibunya membenarkan apa yang dikatakan Tuan Bae dulu. Daehwi tidak tau harus seperti apa. Dia hanya bisa menangis dalam diam.

"Setelah kondisimu membaik, kita pergi eum?"

Daehwi mengangguk dalam tangisnya. Daehwi memeluk ibunya dengan erat dan menangis dalam dekapan ibunya.
.
.
.
.
Jinyoung sedang menemani adiknya berkemas. Siyoung sudah baik-baik saja. Hemoglobin nya sudah normal dan wajah adiknya tidak sepucat sebelumnya.

Jinyoung kesal pada sang ayah sebenarnya. Satu minggu adiknya dirawat dirumah sakit, dan tidak sekalipun ayahnya datang sekedar melihat keadaan anaknya. Sang ayah hanya membayar biaya rumah sakit adiknya lewat sekertaris pribadi ayahnya. Sebegitu tidak pentingnya kah Jinyoung dan Siyoung untuk ayah mereka sendiri?

Beberapa kali Siyoung menanyakan ibunya. Menanyakan keberadaan ibunya yang hampir 5 bulan tidak mereka temui. Ibunya menghilang.

Setelah masalah yang menimpa keluarga mereka, ibunya memilih meninggalkan rumah besar mereka. Meninggalkan 2 putranya hanya dengan ayah mereka yang gila bekerja. Kejam sekali bukan?

Jinyoung pikir, tak apa ibunya pergi. Tapi paling tidak ibunya harus membawa adiknya. Siyoung sangat dekat dengan ibu mereka. Tapi semua tidak berjalan sesuai keinginan Jinyoung.

"Hyung, Appa tidak ikut menjemput Siyoungie?" Siyoung bertanya dengan polos saat melihat supir pribadi keluarga mereka sudah sampai didepan pintu kamar rawatnya.

"Appa sedang bekerja. Siyoungie bersama hyung saja eum?" Jinyoung memaksakan senyumnya. Sembari tangannya masih sibuk membereskan beberapa baju Siyoung dan memasukkannya kedalam ransel besar.

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang