♡28

13.8K 1.1K 95
                                    

"Om Awan benci Ibu. Padahal dulu katanya enggak."

"Kok bisa?" Kening Rahil mengernyit dalam.

Mia terdiam dan menunduk beberapa saat. Mengedip  beberapa kali sambil meremas-remas kedua tangannya.

Rahil pun mengusap punggung istrinya. "Kalau nggak bisa cerita, it's okay."

Mia menggeleng. "Bukan itu. Cuma...it's just too hurt. Ibu kan cantik ya?"

Rahil mengangguk mengakui. Lebih cantik dari Mamanya bahkan. Kalem juga. "Ya."

"Anggun." Mia tersenyum. "Tentu saja anggun. Bahkan aku diantara sepupu yang dari pihak Ibu juga termasuk yang paling pecicilan. Semua perempuan dari pihak Ibu itu anggun. Didikan Alm. Eyang. Mas Rahil tahu maksudku kan?"

Rahil mengangguk. Ya, maksud Mia adalah bahwa Ibunya itu masih keturunan priyayi. Bahkan Ibu mertuanya itu masih memiliki gelar Raden Roro. Karena kedua orang tua Ibu mertuanya itu juga masih memiliki gelar.

"Jadi, saat orang mengenal Ibu, pasti mengira Ibu itu anak orang kaya. Eyang selalu bilang, jagalah penampilanmu biar enak dilihat, nggak lecek. Justru aku yang seenaknya, sering ditegur Alm. Eyang juga sih. Nah, Ibu juga kan kerja di salon jadi semakin pintar merawat diri."

Mia terdiam. Rahil juga diam menunggu.

"Ibu itu orangnya nggak pernah kucel. Dari dulu sebelum kenal Ayah sampai sekarang ya begitu itu. Aduuuh gimana ya...pokoknya ketika dikenalkan sama orang tua Ayah, Ibu ya Ibu. Ibu juga cerita tentang kondisi keluarganya yang walaupun bergelar, tapi miskin. Saudara-saudara Ayah, Yangti dan Yangkung menerima. Beda dengan Om Awan yang tiba-tiba menentang. Ibu dikata-katai, katanya penipu, pura-pura bergaya orang kaya dan menentang pernikahan Ibu dan Ayah."

"Subhanallah! Astaghfirullahal adhiim..." spontan Rahil mengusap punggung istrinya lagi.

Mia menghela nafas dalam. "Ibu sejak awal jujur kok tentang kondisinya dan semua tahu." Katanya sendu. "Sejak itu Om Awan jadi benci Ibu. Dibilang Ibu itu matre, kan memang orang tua Ayah berkecukupan. Katanya Ibu bawa sial karena Ayah sekarang jadi ikut miskin. Karena kerja di salon juga dibilang perempuan nggak benar. Padahal salon tempat kerja Ibu khusus perempuan. Dan salon tempat kerja Ibu itu walau kecil nggak sembarangan. Dulu Ibu kerja sama Ibunya pemilik yang sekarang terus orangnya meninggal dan diterusin anaknya. Tante Ratmi baik. Suami dan anak-anaknya juga. Bahkan suaminya Tante Ratmi saja baru diangkat jadi ketua RW. Kan nggak mungkin mereka mengangkat orang sembarangan?"

"Hanya alasan sesepele itu bencinya sampai sekarang?" Tanya Rahil tak percaya.

Mia mengangguk.

"Innalillahi...semoga Allah membuka hatinya sebelum terlambat." Doa Rahil sambil memeluk Mia.

"Aamiin."

"Istri dan anak-anaknya benci Ibu juga?" Tanya Rahil lagi.

Mia menggeleng. "Tante Sari sih biasa saja. Cuma Ratu, Queenie dan Vasilissa...gimana ya...benci keluargaku mungkin enggak. Tapi kayaknya jijik. Mereka kan orang kaya yang nggak sudi menginjakkan kaki di pemukiman padat kayak gini. Soalnya kalau ketemunya di luar daerah ini, mereka baik sih. Ramah? Semacam itu. Selama nggak nginjakin kaki disini."

"Ya Allah..." ternyata masih ada orang-orang searogan itu? Menganggap diri sendiri lebih dari orang lain. Rahil merasa ikut pusing. Tinggal di lingkungan TNI yang keras pun belum pernah melihat yang seperti ini. Ia jadi bisa merasakan perasaan Ai yang halus lalu dihadapkan pada hal yang tidak menyenangkan. Mau muntah rasanya.

"Perhatiin saja mereka pasti nggak mau makan dan minum yang disuguhkan Ibu kecuali minuman kemasan dan makanan bermerek. Jadi Ibu selalu sedia mineral gelas." Terang Mia lagi.

Elle S'appelle MiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang