♡40

22.9K 1.2K 86
                                    

Mengakhiri itu memang hal tersulit. 😭😭😭

Kalian berat? Aku lebih berat. 😖😖😖

💕💕💕

Delapan bulan sudah Mia menikah dengan Rahil. Kesehatannya jauh lebih membaik. Tampak jauh lebih ceria dari hati karena bebannya sudah hilang. Bukan berarti masalah sudah tidak ada. Hidup itu selalu ada masalah, hanya yang selalu mengganjal pikirannya sudah menghilang dan ia siap menata masa depan apapun bersama Rahil. Hanya satu hal yang belum berubah. Kelakuannya yang ajaib itu.

JDUKK!

"Apalagi siiih?" Rahil yang tengah duduk nonton berita segera berlari ke dapur.

Dilihatnya istrinya tengah berjongkok sambil mengusap-usap kepalanya.

"Sakit..." rintih Mia.

"Kenapa?" Rahil ikutan jongkok dan mengusap-usap kening istrinya.

"Kejeduk pintu kabinet waktu mau ambil mug." Jawab Mia masih merintih karena kepalanya terasa nyut-nyutan.

Rahil menghela nafas dalam. "Kamu duduk saja sana. Biar aku yang bikin cokelatnya. Ck! Kemarin jatuh dari kasur gara-gara kebelit selimut, kapan hari kesandung undakan teras. Kamu sakit?"

Mia menggeleng sambil berdiri dibantu Rahil lalu ke ruang tengah sambil memegangi kepalanya.

Lima menit kemudian Rahil sudah bawa dua mug berisi cokelat hangat. Ia duduk di sebelah Mia dan meletakkan mugnya di meja.

"Ini diminum. Hati-hati...agak panas." Tapi karena khawatir, Rahil tetap bantu menopang mugnya.

"Sudah." Mia menjauhkan mugnya.

Rahil meletakkan mug istrinya ke atas meja lalu ia meminum cokelatnya sendiri.

"Sakit." Mia menyandarkan kepalanya di bahu Rahil sambil terus menggosok kepalanya dengan tangan.

Rahil pun merentangkan tangannya dan merangkulkannya pada kepala istrinya sambil mengusapnya. "Sembuh. Sembuh. Fuh." Ia tiup kepala yang kena pintu kabinet itu. "Sudah, nggak usah cengeng."

"Hibur gitu..."

"Nggak."

"Pelit!"

"Biarin. Kamu nih ya...kok sekarang sudah cengeng, manja pula!" Dumel Rahil.

"Nggak boleh nih? Nggak suka?" Tanya Mia lirih.

Rahil melirik istrinya dengan perasaan tidak enak. Ia pun mendekapnya. "Boleh kok. Maaf ya?"

"Hem."

Mia memang terkadang masih sensitif atas banyak hal terutama komentar. Jadi Rahil harus siap sedia setiap saat atas reaksi apapun yang diberikan istrinya.

Perkataan Om Awan sepertinya sungguh sangat membekas di diri Mia. Membuat kepercayaan diri istrinya itu suka naik turun. Dan untuk menghilangkan itu butuh waktu. Karena ikhlas itu sulit.

"Aku senang kamu manja sama aku cuma kok sekarang lebih gitu..." kata Rahil hati-hati.

Bibir Mia mengerucut. "Aku manja juga sama Ibu."

"Eh...iya ya..." Rahil manggut-manggut. Ia baru ingat.

"Ya sudah? Aku manja aja sama cowok lain." Sahut Mia enteng.

"Itu jidat yang sakit kalau disentil pasti enak." Ujar Rahil tak kalah entengnya.

Tanpa mengatakan apapun, Mia beringsut dari dekapan Rahil dan masuk ke dalam kamar.

"Walah...ngambek." kembali Rahil menghela nafasnya dalam-dalam dan menyusul istrinya ke kamar.

Di dalam kamar, Rahil melihat Mia sudah bergelung terbungkus selimut dan hanya menyisakan puncak kepalanya.

Elle S'appelle MiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang