♡7

13.5K 1K 76
                                    

Ide mandeg itu adalah momok buat penulis. Begitu juga writer's block. Eh, sama gak sih? Yah...sudahlah 😁😁😁.

Tapi yang parah kalau ide di kepala udah berputar-putar dengan hebohnya eh...tinggal nulis aja susaaah 😠😣.

Tapi aku orangnya penuh tekad gyahahaha 😎😎😎😚😚😚🙈🙈🙈. Jadi meski mood jelek, nulis aja dulu...daripada apa yang di kepala ini sia-sia...ciaaah 😄😄😄😋😋😋.

Oke cuuus...

📚📚📚

Hasil lab menunjukkan kadar Hb yang turun. Jauh di bawah normal. Sementara yang lainnya normal. Dan ketika Ai menyuruh Mia menimbang berat badannya juga, ternyata turun banyak padahal Mia sendiri merasa biasa saja.

Anemia.

Dan untuk sementara ini, atas saran Ai, Mia akan tinggal di rumahnya. Dari pagi sampai sore, selama Ai dan Rene bekerja, Mia akan ditemani Mbak Ira. Alasan Ai agar tak menimbulkan fitnah apalagi akan jauh lebih repot kalau Rahil yang mengungsi ke rumahnya sementara semua tahu Rahil masih tinggal di rumah orang tua.

Rahil menurut saja. Mana saja yang terbaik.

Orang tua Mia juga sudah ke Malang dan bertemu Mia. Baru pulang ke Surabaya menjelang maghrib sehingga sempat bertemu dengan seluruh anggota keluarga Rahil.

Dari hasil diskusi atas usulan Ai, dengan berat hati mereka menerima keputusan Ai agar Mia tinggal di rumahnya dan menjalani perawatan sampai sembuh. Lagipula ada BPJS.

Dan selama diskusi bersama tersebut terungkaplah bahwa dulunya Mia pernah terkena Anoreksia Nervousa saat SMA. Untungnya segera ketahuan. Dan penyebabnya adalah kecemasan tinggi. Hanya saja orang tua Mia tidak menjelaskan cemas karena apa, kecuali satu. Diet berlebihan dan sembarangan demi kurus. Tapi Ai dan Rahil merasa masalahnya lebih berat dari sekedar diet.

"Setelah ini rencana kamu apa?" Tanya Frannie setelah mereka sampai rumah.

Rahil terdiam sesaat. "Uhm, belum ada kayaknya. Yang penting dia sehat dulu. Mungkin bantuin cariin dia kerjaan baru kalau memang akhirnya dia diminta mengundurkan diri dari tempat kerjanya sekarang."

"Mas, kamu lupa ya?" Celetuk Rashad.

Ketiganya tengah duduk di ruang makan sambil menikmati teh hangat.

"Lupa apa, Pa?" Tanya Rahil pelan.

"Dia adalah orang yang butuh uang. Uluran tangan. Hidup nggak bisa sekedar berdoa. Betul, jangan pernah menggantungkan harapan pada manusia. Itu bullshit. Tapi justru kita yang berdosa saat tahu dan melihat ada yang butuh pertolongan di depan mata hanya diam. Hanya berkata 'Ya, nanti aku usahakan' atau 'Banyakin doa dan sabar ya?'" Terang Rashad tegas. "Kebanyakan orang yang berkecukupan di luar sana seperti itu. Dan Mas Rahil ada indikasi kesitu."

Rahil terperangah kaget mendengar penuturan Papanya. "Pa, aku..."

Rashad mengangkat tangannya agar Rahil diam. "Kehidupan Mia itu kompleks, Mas. Kadang ada orang yang mengalami tekanan batin sekalipun bukan Eating Disorder atau Anoreksia itu nggak tampak. Kelihatannya baik-baik saja tapi dalamnya rapuh, ada juga yang hancur. Mungkin sebaiknya Mas Rahil tanya-tanya ke dokter Zul, siapa tahu bisa kasih masukan. Itu yang pertama.

"Kedua, selama menjalani perawatan, kita bisa membantu menanggung hidupnya. Tapi selanjutnya? Kehidupan sehari-harinya? Kuliahnya? Siapa yang menanggung?" Lanjutnya sambil menatap lembut putra sulungnya. "Papa nggak salahin Mas Rahil yang peduli dan terlibat masalah ini. Justru bangga. Malah Papa sama Mama nggak bisa bayangin kalau Mas Rahil nggak bantu dia. Bawa badannya sendiri saja repot."

Elle S'appelle MiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang