بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
---
Brak!Pintu berwarna cokelat kehitaman itu terbuka dalam sekali hentakan. Mata tajamnya langsung terjatuh pada penampakan dimana seorang lelaki yang sedang menindih tubuh mungil seorang gadis yang terlihat ketakutan itu.
Lelaki yang berusaha menyetubuhi gadis itu, langsung menolehkan kepalanya dengan marah. Sejenak melirik gadis yang ditindihnya yang juga menatap lelaki yang baru saja berani mendobrak pintu kamar hotel itu.
Dengan sekali hentakan, lelaki tinggi hitam itu langsung menarik gadis itu dan entah sejak kapan, tangannya menggenggam pistol. Menodongkannya tepat di kepala sang gadis.
"Brengsek!" Azzam berteriak marah. Dadanya bergemuruh. Saat lelaki itu hendak melangkahkan kakinya untuk menyelamatkan gadis yang sedang diambang kematian, lelaki berkulit hitam itu langsung mengatakan sesuatu yang membuat Azzam langsung menghentikan langkahnya.
"Maju satu langkah lagi, peluru ini akan tembus di kepalanya."
Kedua tangan Azzam mengepal di kedua sisi tubuhnya. Matanya memancarkan amarah yang begitu besar. Belum lagi saat ia melihat gadis itu dengan keadaan gadis cantik yang sungguh menyedihkan itu. Khimar panjang yang biasa menutupi rambut indahnya, sudah terlepas dan tergeletak mengenaskan di atas lantai. Ghamis yang biasanya menutupi tubuhnya dengan sempurna, sudah terkoyak sana-sini. Rambutnya berantakan. Matanya sembab. Bibirnya bergetar. Dan Azzam dibuat kalut karenanya.
Gadis itu menggeleng. Mengisyaratkan agar Azzam segera pergi dan meninggalkannya. Membiarkan dirinya disiksa hingga mati mengenaskan. Ia tidak mau ada orang lain yang terluka, meski harus dirinya yang merasakan siksa.
Azzam menatap nanar tepat di mata coklat terang yang tak henti mengeluarkan cairan bening. Bukan ia tidak mengerti dengan tatapan mata gadis itu, ia hanya tidak mau membiarkan gadis yang sangat dicintainya mati karena keterlambatan dirinya untuk menolong.
Cukup sudah gadis itu mengorbankan dirinya. Sudah cukup. Azzam berjanji, setelah ini, ia akan selalu membuat gadis itu bahagia. Tanpa ada seorang pun yang merusaknya. Tanpa ada seorang pun yang berani menjatuhkan air matanya. Tanpa ada seorang pun yang menyakitinya.
Bayangan sosok yang membuat gadis itu merasakan segala kesakitan ini melintas di otaknya. Dadanya kembali bergemuruh. Sosok yang membuat kehidupan gadis itu hancur. Bukan hanya gadis itu, namun juga kehidupan keluarganya.
Dendam dalam hatinya menggebu. Memaksa dirinya untuk membalas semua perbuatan yang orang itu lakukan hingga seluruh anggota keluarga merasakan kehancuran.
Azzam berlari menghampiri lelaki si penodong pistol itu. Hendak menggapai pistol yang mungkin sekali saja ditarik pelatuknya, saat itu pula nyawa gadis yang tidak bersalah itu melayang.
DOR!
Azzam membuka matanya kala cairan berwarna merah kental itu membanjiri alam bawah sadarnya. Napasnya memburu, keringat mengalir di sekujur tubuhnya, mata tajamnya meredup, berganti dengan ketakutan yang amat terlihat jelas di netranya.
Mata cokelat terang itu menyapu sekeliling. Kedua tangannya menggenggam erat sprei tempat tidurnya.
Menyadari bahwa ia masih berada di dalam kamar, rupanya tidak membuat hatinya tenang.
Mimpi itu kembali hadir. Mimpi yang berusaha ia hapus dari dalam memorinya. Setelah sekian tahun ia tidak bermimpi buruk itu lagi dan berpikir bahwa ia sudah merasa lebih baik, namun rupanya semua masih sama. Trauma itu masih ada. Luka itu masih membekas.
Azzam mengusap wajahnya dengan kasar. Berusaha menghilangkan bayang-bayang kelam masa lalunya.
'Istighfgar, sayang. Itu hanya bunga tidur. Kamu pasti tidak berdo'a 'kan sebelum tidur?'
Suara lembut itu terngiang di telinganya. Suara lembut yang mampu meneduhkan hati. Suara yang mampu menenangkan malamnya kala ia bermimpi buruk.
Lidahnya kelu hanya untuk sekedar mengucap kalimat istighfar. Kalimat yang dulu selalu ia ucapkan kala ia bermimpi buruk. Kalimat yang ia ucapkan bersama dengan bundanya, wanita hebatnya.
Tidak ada lagi ketenangan di malamnya yang buruk. Tidak ada lagi pelukan hangat kala ia ketakutan hanya karena mimpi yang hanya sekedar bunga tidur. Tidak ada lagi suara lembut yang mengalun indah membacakan sholawat untuk menemaninya tidur. Tidak ada lagi usapan lembut di kepalanya yang mampu mengantarnya pada mimpi indah.
Semua hilang dalam sekejap. Seperti saat ia bermimpi indah namun kala ia membuka mata, semuanya hilang dalam sekejap. Hanya bisa dikenang tanpa berharap akan bisa merasakannya kembali.
Azzam menghembuskan napas beratnya. Lelaki itu turun dari tempat tidurnya. Berjalan keluar kamar untuk mengambil segelas air guna membasahi tenggorokannya yang terasa kering juga sedikit menenangkan dirinya.
Rumah besar yang ia tinggali seorang diri itu terasa begitu dingin. Bukan karena pendingin ruangan yang dinyalakan full. Tapi karena tidak ada sosok penghangat di sana.
Azzam menghembuskan napasnya gusar kala mengingat segala kenangan indah bersama orang-orang terkasihnya. Masa di mana saat ia masih merasakan kehangatan keluarga yang utuh sebelum kehancuran karena sebuah pengkhianatan itu datang.
Mata tajamnya melirik jam dinding. Pukul dua malam. Ia baru saja pulang dari kantor hampir pukul setengah dua belas dan baru bisa tidur pukul satu. Baru satu jam ia tertidur dan harus terbangun karena mimpi buruk yang tidak pernah ia inginkan hadir sebagai bunga tidurnya.
Kepalanya terasa pusing, mungkin akibat baru tertidur dan terbangun karena mimpi itu. Azzam memijit pelipisnya dengan pelan dengan mata yang tertutup. Berusaha meredakan rasa sakit yang ia rasakan pada kepalanya.
'Ini tempatmu, Nak. Pulanglah jika kamu bosan dengan suasana Jakarta yang menyesakkan. Carilah kedamaian di sini. Tempat di mana kau menorehkan senyum bersama orang-orang terkasihmu, dulu.'
Azzam membuka matanya seketika. Suara seseorang yang begitu familiar terngiang di telinganya. Seseorang yang sudah beberapa tahun sejak kejadian itu, ia tinggalkan. Pamannya yang tinggal di kampung halaman.
Seperti puzzle, tiba-tiba ia mengingat dengan persyaratan yang diberikan Abah untuk bisa menikahi Maira.
Azzam menemukan kepingan-kepingan jawaban yang selama ini ia cari. Sedikit dirinya bisa merasakan kelegaan. Setidaknya masih ada harapan untuknya terus maju memperjuangkan lamarannya.
Namun tidak bisa dipungkiri, satu sisi hatinya masih merasakan ragu.
***
Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh..
Pendek banget part ini ya. Semoga tidak membosankan.
Dan ya, seperti yang kita ketahui bahwa hari ini, umat muslim New Zealand sedang dilanda musibah penembakan brutal.
Sakit rasanya hati. Melihat darah yang yang membanjiri lantai suci rumah Allah.
Teman-teman, jangan lupa selipkan sedikit saja do'a setelah sholat untuk saudara-saudara muslim kita yang berada di daerah pemberontakan. Saudara-saudara kita yang tidak bisa hidup tenang karena selalu merasa was-was akan adanya ancaman.
Semoga Allah senantiasa melindungi kita dan saudara muslim di belahan dunia manapun. Aamiin Allahumma aamiin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamu'alaikum Kekasih Halalku
General FictionIni kisah seorang manusia yang terbelenggu masa lalu. Tentang seorang lelaki yang memendam dendam, membenci takdir yang berlaku tak adil, juga membenci Tuhan yang tak pernah berpihak padanya. Kebahagiaan yang menghilang seiring dengan masa lalu yang...