BAB ENAM

29.6K 1.9K 42
                                    

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

---

Abah menatap lelaki yang duduk tenang dengan tatapan mata tajam dihadapannya dengan terheran-heran. Baru kali ini Abah melihat lelaki itu. Tinggi semampai dengan tubuh atletisnya. Jas yang melekat ditubuhnya seakan menandakan bahwa ia berkuasa.

Belum pernah Abah berhadapan dengan lelaki seperti ini. Jika dilihat-lihat sepertinya ia berasal dari keluarga yang sangat terpandang. Melihat dari mobil yang terparkir di depan rumah, yang Abah pastikan harganya mencapai miliaran rupiah, atau bahkan sepatu yang dikenakannya, yang mungkin seharga dengan sepuluh kali lipat sepatu yang dimilikinya.

Dilihat dari wajahnya sepertinya lelaki itu bukan keturunan Indonesia asli. Bola mata yang berwarna coklat terang dengan hidung mancung khas orang luar Indonesia. Gayanya pun tidak seperti orang Indonesia kebanyakan.

Bibirnya membentuk satu garis lurus. Namun sesekali Abah melihat lelaki itu tersenyum tipis sangat tipis, yang Abah tidak mengerti lelaki itu sedang tersenyum atau tidak.

Abah kembali menampakkan senyum terbaiknya. Sejak lelaki itu duduk dihadapannya, tidak ada satu pun kata yang keluar dari bibir lelaki itu. Seakan tidak ada niat untuk menjelaskan maksud kedatangannya kemari.

"Jadi namamu siapa? Ada keperluan apa datang kemari?" tanya Abah setelah merasa sudah cukup lama keheningan yang tercipta antara keduanya.

Lelaki itu bedehem sebelum menjawab. Lalu suara beratnya keluar. Suara yang Abah nanti-nantikan karena penasaran bagaimana suara lelaki setampan orang yang di depannya.

"Saya Azzam."

Abah mengangguk. Sedikit terkejut karena ia pikir lelaki itu memiliki nama yang kebarat-baratan. Namun ternyata tidak. Azzam, nama yang cukup bagus.

Azzam memang blasteran. Ibunya yang asli orang Aceh dan Ayahnya yang asli keturunan Turki. Azzam sangat mewarisi wajah sang ayah, bule dengan badan yang cukup tinggi.

"Nak Azzam, datang kemari untuk bertemu siapa?" Tanya Abah lagi.

Azzam tidak langsung menjawab. Lelaki itu terlihat mengedarkan pandangannya seakan mencari sesuatu atau menilai tempat yang sedang didatanginya itu. Entah.

Setelah berpikir semalaman suntuk hingga jam tidurnya terganggu, pekerjaan yang sedikit terbengkalai, karena memikirkan kelanjutan nasib lelaki itu. Nasib untuk mengkhitbah seorang gadis yang akan menjadi pendamping hidupnya, bidadari surganya, akhirnya dengan sedikit ragu, lelaki itu memberanikan diri untuk datang ke tempat ini. Rumah gadis yang belakangan ini memenuhi otaknya dan menyita pikirannya.

Ada sedikit keraguan dalam benaknya. Keraguan jika agama menjadi salah satu syarat yang akan dipertimbangkan oleh keluarga gadis itu. Azzam takut jika niat baiknya ditolak.

"Saya ingin bertemu dengan Bapak." Ucap Azzam dengan mata yang menatap dalam kedua mata lelaki paruh baya di hadapannya.

"Saya?" Abah menunjuk dirinya sendiri. "Maaf sebelumnya, apa kita pernah bertemu?"

Azzam menggeleng.

"Lantas untuk apa nak Azzam ingin bertemu Abah?"

Pemuda itu tidak langsung menjawab. Menatap lelaki paruh baya dengan peci hitam yang menutupi rambut putihnya.

Berkali-kali lelaki itu meyakinkan dirinya bahwa ini adalah saat yang tepat. Tidak perduli dengan penolakan yang tiba-tiba ia dapatkan. Meski ketakutan tak kunjung reda di dalam hatinya.

"Saya berniat melamar putri Bapak."

Abah terkejut.

Putri bapak, maksudnya siapa?

Assalamu'alaikum Kekasih HalalkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang