0.2 - Zero-point-two.

204 22 15
                                    

"Ada apa, Jim?" Angin musim gugur menyapu pipi Mayleen, membuat rambutnya ikut tertiup dan menghalangi pandangannya. Meskipun begitu, ia tetap setia duduk disamping Jimin—di kursi taman.

Sejak setengah jam lalu, pria itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun dari bibirnya, membuat Mayleen gemas. Meskipun ini masih musim gugur, udaranya sudah cukup dingin, dan Mayleen benci udara dingin. Jimin tiba-tiba menegakkan punggungnya, matanya dengan tajam menatap mata Mayleen, pipi dan telinganya tampak lebih merah daripada tomat matang.

"Leen," Suaranya benar-benar pelan, bahkan suara daun yang saling bergesekan di atas sana lebih nyaring daripada suara Jimin. Mayleen benar-benar harus menajamkan indra pendengarnya agar ia bisa menangkap suara Jimin dengan jelas.

"Jadi begini ...," ia menggantungkan kalimatnya, Mayleen memiringkan kepalanya, menunggu lanjutan kalimat Jimin "Tapi sebelumnya, Kau harus janji ...." Sekali lagi, pria itu menggantungkan kalimatnya.

Dalam hatinya Mayleen berjanji, apabila pria ini kembali melakukan hal yang sama sekali lagi, dia akan memastikan bahwa dirinya akan menenggelamkan pria ini di Sungai Han.

"Apapun yang ku katakan nanti, hal itu tidak akan membuatmu menjauhiku. Call?" Mayleen memasang sebuah senyum di bibirnya lalu mengangguk sambil berkata, "Call!"

Pria itu menarik napasnya dalam, lalu mengeluarkannya perlahan. Mengulanginya beberapa kali, ia tampak gugup dan Mayleen menangkap gelagat aneh pria itu.

Jimin meraih tangan Mayleen dan membawanya ke genggamannya, mencurahkan afeksinya melalui genggaman itu.

Sekali lagi, dia menarik napasnya dalam lalu menghembuskannya.
"Leen ... Mayleen ... Mayleen Lee. Aku tau ini akan terdengar aneh. Aku pun tidak paham bagaimana ini terjadi, aku—"

"Park Jimin, jangan berbelit-belit seperti itu!"

Belum sempat Jimin menghabiskan kalimatnya, Mayleen—si gadis tidak sabaran itu—sudah terlebih dahulu memotongnya. Jimin menampilkan senyum tabah miliknya, mencoba sabar menghadapi gadis tidak sabaran yang ada di hadapannya

"Leen, jangan memotong ucapanku, kumohon." Ucapnya pelan, berusaha tidak membuat gadis itu tersinggung. Setelah mendapat sebuah anggukan dari Mayleen, Jimin pun melanjutkan kalimatnya.

"Aku tidak pandai merangkai kata-kata romantis atau puitis, aku hanya bisa mengatakan bahwa aku mencintaimu, Mayleen. Entah sejak kapan aku mulai menyukaimu, jadi maukah Kau menjadi kekasihku?"

Diam, hening. Tidak ada kata yang terucap dari dua insan itu selama beberapa saat.

"Jim ...." Mayleen akhirnya memutuskan untuk memecahkan keheningan itu.

"Kau ingat saat kita pertama kali bertemu, saat kita masih sekolah dasar bukan? Saat itu ... aku sedang di bully oleh beberapa bocah laki-laki nakal dari kelasmu, mereka mengataiku kepala jagung karena rambut pirangku. Aku masih ingat dengan jelas saat itu Kau datang dan dengan gagah beraninya mengusir mereka. Bagiku, saat itu Kau adalah seorang pahlawan," Jimin langsung mengalihkan pandangannya, mendongak memperhatikan awan-awan yang bergerak "Sejak saat itu, Kau selalu datang saat aku membutuhkanmu, selalu melindungiku ...,"

Mayleen menarik napas sebentar sebelum melanjutkan ucapannya, "Aku senang saat Kau datang dan menemaniku, dan juga ... aku tidak merasa sedih saat kita berpisah karena bel pulang sudah berbunyi. Karena aku yakin, kita masih bisa bertemu besok hari, selalu seperti itu sampai hari ini," Jimin kembali mengalihkan pandangannya ke arah Mayleen, angin kembali bertiup, menerbangkan rambut hitam milik Jimin.

"Kau ingat saat aku berpacaran dengan Min Yoon Gi?" Kepala Jimin langsung memutar memori tentang Mayleen dan Yoon Gi saat SMP.

"Saat aku berpacaran dengan Yoon Gi Oppa, rasanya sulit sekali untuk berpisah. Rasanya dunia akan runtuh jika bel pulang sudah berbunyi, aku takut kami tidak bisa bertemu lagi besok, takut aku tak bisa menahan rindu yang memenuhi dadaku ..."

Jimin menghela napas berat, seakan sudah tahu jawaban yang akan diberikan oleh Mayleen. Mayleen, gadis itu segera meraih tangan Jimin dan menatap mata sahabatnya itu

"Kau adalah Park Jimin, sahabatku—"

"Dan selamanya tetap akan seperti itu."
Kali ini Jimin yang memotong ucapan Mayleen. Ia memasang senyum maklum di wajahnya, seraut kekecewaan ikut terlukis di wajahnya, Mayleen menyadari itu.

Maafkan aku, Jim. Hatiku bukan untukmu.

Note,

Hatiku untukmu, Jim :)))

SHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang