Five Minutes to Midnight pt2 (end)

4.9K 551 31
                                    

Jimin mengalihkan pandangannya untuk melihat wajah Yoongi. "Ba-bagaimana Anda tahu?" Ia terkejut saat kata-kata itu meluncur dari mulut Yoongi.

"Park Jimin jurusan Seni Tari, right?" ucapnya lagi. Kepalanya sedikit ia miringkan agar leluasa melihat wajah Jimin.

Jimin kembali berdiri tegak. Ia tidak pernah melihat Yoongi sebelumnya. Dan tentu saja ia malu sekarang karena identitasnya diketahui. Sebenarnya ia tak malu dengan nama universitasnya (hell, itu bahkan universitas favorit dan Jimin bisa masuk ke sana dengan beasiswa), namun karena kliennya sudah mengenalnya terlebih dahulu.

Ini juga, klien yang pertama. Bagaimana kalau kliennya yang lain mengetahui identitasnya?

"Bagaimana Anda tahu? Apa Boss yang memberitahunya?" tanya Jimin ragu. Dari cara Yoongi bertanya, sebenarnya terlihat jelas kalau pria itu menebak tepat sasaran--seperti memang pernah bertemu dengannya sebelumnya. Lagian Namjoon, pria yang ia panggil Boss itu, berjanji kepada seluruh pekerja untuk tidak membeberkan identitas pribadi mereka kepada klien.

"Aku pemilik SinarMin"

Jimin mengangguk-anggukkan kepala polos. Sedetik kemudian ia mencerna kalimat pria dihadapannya baik-baik. Matanya melebar sempurna.

"Si-SinarMin? Perusahaan SinarMin?!!"

Melihat wajah terkejut itu Min Yoongi tersenyum kecil. Ia mengangguk sekali menanggapi Jimin.

Jimin segera membungkuk hormat, ia sebenarnya sudah malu setengah mati.

Bagaimana tidak? Pemilik SinarMin, perusahaan yang memberikan beasiswa penuh kepadanya, telah membelinya semalaman untuk berbincang.

Bukankah beasiswa diberi untuk mahasiswa yang pintar dan baik? Oke, dirinya mendapat poin yang pertama. Namun yang kedua? Mana mungkin Yoongi berpikir kalau ia baik jika menemukannya mencoba memuaskan orang lain dengan tubuhnya pada klub malam.

"Jangan tundukkan kepalamu" Yoongi kembali memecah kediaman di kamar minim pencahayaan itu. Ia tidak tahu apa isi di otak Jimin sekarang sampai-sampai tidak mengangkat kepalanya.

"Er.. Tuan, tolong.. jangan cabut beasiswaku" pinta Jimin tiba-tiba. Ia takdapat membayangkan apa jadinya dirinya tanpa beasiswa? Pasti ia akan di depak langsung oleh universitasnya karena uang semesternya yang begitu mahal takkan mampu dibayar oleh Jimin. Ia bahkan nekat menjual tubuhnya untuk membayar sewa kamar asramanya. Jimin tidak tega meminta uang dari ibunya yang merupakan single parent di Busan yang juga menyekolahkan kedua adiknya yang lain.

Yoongi mengernyitkan dahi.

"Sia--" "Tuan juga tidak perlu membayar saya. Pakai tubuh saya cuma-cuma"

Jimin seharusnya tahu kalau Yoongi tidak suka apabila ucapannya dipotong begitu saja. Namun Yoongi memilih menghela napas dan menatap wajah Jimin yang terunduk itu.

"Turuti perintahku, Jimin. Angkat kepalamu" titahnya.

Mendengar nada berat dan penuh penekanan itu, Jimin pun mengangkat kepalanya takut-takut. Ia kini menatap Yoongi.

"Kedua, jangan potong ucapanku. Aku tidak menyukainya"

Jimin meneguk ludah kasar sebelum mengangguk lagi.

"Ketiga. Aku tidak akan mencabut beasiswamu. Aku hanya akan mencabutnya bila kau melanggar syarat yang tertulis pada kontrak beasiswa itu"

Jimin mengangguk lagi. Kali ini lebih semangat. Ia sudah jauh lebih tenang sekarang.

"Dan aku akan tetap membayarmu. Aku selalu memegang ucapanku. Serta, aku takkan menggunakan tubuhmu, oke? Aku masih normal"

"Terimakasih" ucap Jimin yang meskipun singkat, memiliki makna yang besar. Ia tersenyum manis kepada Yoongi.

"Tapi, saat penerimaan beasiswa, tuan tidak ada disana. Kenapa bisa mengetahui wajahku?" tanya Jimin. Pertanyaan itu melayang dipikirannya sejak tadi.

"Aku selalu menerima laporan dari penerima beasiswa. Pas sekali seminggu yang lalu kau memenangkan lomba yang cukup bergengsi dan aku melihat wajahmu di dokumennya"

Jimin membulatkan mulutnya, mengeluarkan kata 'oh' yang cukup panjang. Ia senang sendiri mengingat kejadian minggu lalu. Meskipun hanya keluar sebagai juara tiga, namun itu sudah tingkat provinsi, dan lawannya sangat hebat.

"Apa tuan mau melihat saya menarikannya?"

Wajah berbinar yang terlihat manis itu membuat Yoongi terkekeh pelan. Lelaki didepannya itu terlihat begitu polos. Sayang sekali mereka bertemu di tempat ini.

"Baiklah" ucap Yoongi.

Jimin melakukan sedikit pemanasan karena tubuhnya agak kaku sebelum meliukkan tubuhnya dengan indah. Yoongi bisa mendengar mulut Jimin menggumamkan nada musik pengiringnya.

Sampai ketika Jimin merendahkan tubuhnya, menaikkan sedikit bokongnya dan melakukan sedikit twerk.

Yoongi menelan ludahnya gusar. Tarian itu cocok sekali untuk Jimin, si pemilik bokong sintal dan padat itu.

"Bagaimana?" Tanya Jimin setelah mengakhiri tariannya. Ia terlihat keringatan. Meskipun cahaya yang minim, Yoongi dapat melihat leher lelaki itu berkilauan.

"Kenapa terlihat panas?" Yoongi malah balik bertanya. Entah dari mana ia mendapat dorongan untuk menggoda Jimin yang masih mencoba mengatur napas.

Jimin takbisa untuk tidak tersipu. Bukankah itu terlalu frontal? Ia kira Yoongi hanya akan mengatakan 'bagus', 'lumayan', atau kata-kata yang serupa. Mengapa pria itu malah memilih kata 'panas'?

Wajah yang memerah itu ditatap dalam oleh Yoongi. Ia suka warna yang menghiasi pipi itu. Terlebih karena ia yang membuatnya.

"Itu.. Saya tidak tahu. Tapi terimakasih" tanggap Jimin. Ia tersenyum lebih dalam hingga matanya melengkung indah.

Entah kenapa Yoongi bertanya-tanya soal orientasi seksualnya malam itu.

***




Sudah waktu pulang kuliah.

Jimin memperbaiki tasnya, memasukkan semua alat tulisnya yang berceceran diatas meja dengan asal sebelum bergegas menuju kedai kopi disamping universitas tempat ia menimba ilmu.

"Selamat siang, Tuan Min" sapanya setelah menemukan pria bersetelan kemeja hitam itu sedang menyeruput Americano.

"Silahkan duduk" ucap Yoongi sehingga Jimin menarik kursi dihadapan pria itu dan menjatuhkan bokongnya diatas sana.

"Ini" ucap Yoongi sembari menyodorkan sebuah kertas cek dengan angka tuga diikuti enam angka nol dibelakang. Jimin menerimanya dengan hati-hati. Ia sedang memegang tiga juta won ditangannya.

"Terimakasih Tuan" ucap Jimin lalu membungkuk hormat. Ia menunggu Yoongi mengatakan sesuatu atau lebih baik menyuruhnya pergi karena urusan mereka sudah selesai sekarang.

Sayangnya pria Min itu menahannya, bahkan menyuruhnya untuk memesan minuman. Jimin tentu tidak berani menolak. Ia yakin Yoongi tidak akan menerima penolakan sehingga ia memesan Latte.

"Park Jimin"

Jimin yang baru saja meletakkan secangkir Latte-nya mengangkat wajah, bersitatap dengan mata cokelat kelam milik Yoongi.

Sebuah tarikan nafas terdengar dari yang lebih tua.

"Aku tau kalau aku hanya bisa membuatmu menuruti perintahku hingga jam dua belas kemarin. Dan ini sudah lima belas jam semenjak waktu itu. Tapi bisakah aku menyuruhmu melakukan sesuatu?"

Jimin segera mengangguk. Ia tidak mungkin menolak.

"Aku mencari istilah ini semalaman. Aku mau kau jadi uke-ku"

"Hah?" apa Jimin salah dengar?

"Aku rasa orientasi seksualku terganggu karenamu. Tapi kurasa itu tidak buruk, asal pasangannya kau"

Wajah Jimin bersemu.

"Aku anggap dengan wajahmu memerah, itu tandanya ya" ucap Yoongi. Nadanya jelas mengatakan kalau itu 'mutlak'.

Jimin tidak tahu harus menjawab apa. Tapi ia tidak mempermasalahkannya.

***

Sumpah endingnya gaje banget deh

Yoonmin OneshootsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang