Si egois menjadi sarjana

57 13 5
                                    

2 tahun kemudian...

Suasana kebahagiaan penuh haru di gedung tempatnya wisuda membuatnya sedikit merinding. Seolah tak percaya bahwa hal ini terjadi juga. Kini dia sudah menggenggam gelar 'Sarjana' di belakang namanya. Setelah diusir dari rumah dua tahun yang lalu karena IPKnya turun, tanpa membawa harta, sedan hitam kesayangannya, atau apapun dia bahkan tak berpikir akan berdiri sampai di sini kalau takdir tidak membawanya pada pertemuan dengan Philia sang anak kecil polos yang menyelamatkannya dari tragedi mobil yang kehilangan kendali.

Orang yang hampir menabraknya itu telah menjadi walinya sebagai bentuk permintaan maaf dan mengizinkan cowok itu tinggal di rumahnya bahkan membiayai kuliahnya. Pada akhirnya karena merasa tidak enak, cowok itu mencoba mengikuti program beasiswa dan berhasil sehingga wanita itu akhirnya hanya menanggung kehidupannya. Sekarang dia mengerti apa yang dimaksud dengan 'jika kekayaan hanya membuatnya kurang ajar, lebih baik hidup dalam kemiskinan.'

Alfan telah tumbuh menjadi lelaki yang dewasa juga tak seenaknya lagi. Demikian juga dengan Philia, anak dengan disfungsi tangan kiri akibat kecelakaan itu disekolahkan dan sekarang sudah menduduki kelas satu SMP, tidak lagi repot-repot berjualan seperti dulu. Selesai dengan acara melempar toga juga berfoto-foto, wanita itu menatap Alfan nanar.

"Fan, kamu nggak mau ke rumah papamu? Beliau pasti nggak tau kalo kamu sekarang udah wisuda."

Alfan menatap wanita yang sudah semakin menua dari pertama kali mereka bertemu, semua seperti tiba-tiba dan tidak terasa berjalan begitu saja. Ditatapnya wanita itu beserta suaminya. Mereka wali Alfan, Dira dan Ardi. "Iya, ya, Mbak Dira."

🗿

Diketuknya beberapa kali pintu itu, sedikit ada rasa haru dan merinding setiap kali dicobanya. Hatinya berdesir mengingat kenangan-kenangan yang pernah dirasakannya tatkala tinggal disini, belum lagi kenangan diusir, dibuang, dan dilupakan.

Cklek! Pintunya mulai terbuka. Dada lelaki itu mulai berdegup ketika melihat penampilan sesosok wanita yang pernah dibencinya dulu dengan kerutan-kerutan di pipi, itulah ibu tirinya.

"A-Alfan?" panggilnya sembari mengeluarkan wajah terkejut seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Ma ... ma?" panggil lelaki itu membalas wanita di hadapannya. Akhirnya setelah beberapa tahun bersilam, baru kali ini Alfan memanggil dan mengakuinya sebagai mama. Tanpa sadar, wanita itu tak dapat menahan perasaan harunya lantas memeluk lelaki itu erat. Mengabaikan dua orang yang juga menemani puteranya itu. Mereka hanya memasang wajah lega.

"Fan, maafin mama! Maafin mama, Fan!" Baru disadari oleh Alfan, kantung mata wanita itu membesar. Sepertinya ada yang terjadi selama beberapa tahun ini.

"Ke-kenapa mama minta maaf?"

"Seharusnya mama nggak membuatmu diusir, seharusnya... seharusnya..."

Lelaki itu kemudian mengarahkan jemari telunjuknya di bibir wanita paruh baya itu lalu mengencangkan pelukan mereka, "Tenang ma, tenang, tenang."

Tampak air muka menyesal yang sangat kuat dari ibu tirinya, "Mama nyesel setengah mati, Fan. Mama hanya ingin beri kamu pelajaran tapi nggak sampe harus membuatmu terusir."

Alfan bergeming. Baru disadarilah alasan kantung mata yang kian membesar itu disebabkan wanita ini menyesal setengah mati membuatnya terusir. Mungkinkah setiap malam wanita ini menangisi dirinya? Oh Alfan, ibu tirimu tidak sejahat itu ternyata! Dia masih menyayangimu.

"Pa-papa dimana, ma?" Alfan berusaha mengalihkan percakapannya namun wanita itu malah menunduk lemah. Bulir demi bulir air matanya turun lagi. "Ma?"

Di saat itulah, kebenarannya terungkap. Hati lelaki yang baru saja menyelesaikan pendidikan itu mencelus. Sesak. Hancur. Sakit.

"Papa udah nggak ada, Fan dari setahun yang lalu. Dia terkena serangan jantung mendadak, dia memang tidak pernah bisa mengontrol darah tingginya, Fan."

Dira yang sedari tadi hanya berdiri di samping Alfan sontak menutup mulutnya tidak percaya, "Inalillahi."

Alfan bergeming dan Ardi berusaha menenangkan lelaki itu yang sepertinya hampir menangis menyadari sosok rajanya sudah tiada lagi.

"Ke-kenapa aku gak dikasi tau, ma?"

"Ini permintaannya, Fan. Dia ingin kamu mandiri. Dia ingin kamu tetap tabah menjalani hidup di mana pun kamu berada. Dia yakin kamu pasti bisa walau tanpa kehadiran dirinya. Kematiannya pasti hanya akan menjadikan kesedihan dan menghambatmu mengejar apa yang kau cita-citakan," jelas ibu tirinya, Sofi panjang lebar dan itulah penutup terakhir dari ucapan mereka hari ini.

"Terima kasih, ma, pa. Aku sayang kalian," gumam lelaki itu yang dalam hatinya juga berkata 'Tenang aja, aku sekarang sudah berubah jadi lebih baik. Jangan mengkhawatirkanku, ya ma.'

🗿

[Yang ingin mengetahui kisah Dira-Ardi bisa mengechek works one shoot-ku yang judulnya Heartless. Thankyou]

1US - Binar Rapuh✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang