42

1.8K 132 19
                                    

Jadwal tiga hari yang di tentukan dokter Marwan akhirnya datang juga, pukul dua belas siang nanti, Elang akan di tidurkan diatas meja operasi yang memerlukan waktu sekitara sepuluh jam itu kalau tidak ada trouble menghampiri.

Selama tiga hari ini juga Elang harus pasrah dengan ke over protektifan Rendi yang tidak boleh melakukan ini itu, semua harus sesaui ingin sang abang.

Tiga hari yang lalu ia sangat sangat bersyukur karena satu informasi yang ia dapat membuat hatinya lega dan bahagia, sedikit demi sedikit pun ia bisa terbuka dengan Rendi, bahkan terkadang melakukan protes kalau merasa apa yang di lakukan Rendi itu keterlaluan.

Seperti dua hari yang lalu ketika ia ingin ke kamar mandi dan dengan santainya Rendi menyuruhnya untuk menggunakan kursi roda. Astaga!!, kamar mandi yang jaraknya hanya dua meter dan ia harus menggunakan kursi roda, suatu yang sangat istimewa bukan.

Mereka semua berkumpul di ruangan Elang minus Rendi, yang harus mempersiapkan semuanya. Memberikan dukungan dan semangat buat Elang.

Beda dengan Elang, sebenarnya yang sedari tadi ia tunggu adalah kedatangan abangnya itu apalagi tampa sengaja ia mendengar cerita Rendi sewatu menjaganya, sebenarnya Elang sudah bangun tapi di urungkan ketika tanganya di genggam erat dan sayup sayup ia mendengar suara tangisan, yang bisa di pastikan Elang kalau cuma ia dan Rendi dalam ruangan itu, entah kemana yang lain, sebab setaunya Rendi adalah tipe orang yang tidak mau memperlihatkan keterpurulannya.

"Dek, abang takut, ini kedua kalinya abang takut, pertama ketika lo dinyatakan meninggal dalam kejadian itu dan saat ini, jujur bagaimana abang menghadapi besok, harus melihat abang sendiri yang akan membedah tubuhmu di meja bedah. Abang takut, terlebih lebih abang takut gagal, hiksss....."

Itu penggalan cerita yang Elang dengar dengan posisinya ia sedang pura pura tertidur.

"Lo harus semangat, taklukin sepuluh jam itu, gue yakin lo pasti bisa"

"Gue cuma minta doanya semoga semuanya berjalan lancar, tampa kendala" yang di amini semuanya.

"Semangat ya sayang," tidak ada ada lagi rasa canggung Calissta di hadapan keluarga Elang, "Pokonya aku akan nungguin kamu, sampai kamu keluar"

"Jangan nangis" mengusap pipi Calissta yang dialiri air mata, walau senyum Calissta terus mereka tapi tidak dengan hatinya yang sangat takut.

"Nggak ko, aku terharu doang" membantu Elang mengusap air matanya yang tetap saja mengalir.

Pandangan Elang beralih ke  Permana, "Ayah, abang mana?"

"Rendi masih bersama dokter Marwan untuk persiapan operasimu nak"

Sudah sedari pagi Elang melakukan puasa sebagai salah satu anjuran ketika akan melakukan operasi.

"Elang mau bertemu abang Yah, tolong bawak Elang keruang bang Rendi" menyibak selimutnya, Elang hanya khawatir dengan Rendi, apalagi ucapan Rendi malam tadi terus terngiang ngiang di telinganya.

"Kamu disini saja nak, biar Ayah yang panggil bang Rendi," beranjak dari duduknya keluar ruangan.

Permana terus berjalan menuju ruang operasi, ruang yang akan mempertaruhkan nyawa buah hatinya, dilihatnya Marwan sedang memberikan intruksi dari dalam ruang bedah.

Marwan yang melihat Permana dari dinding sekat kaca sebagai pemisah, menghentikan kegiatannya beranjak keluar dari ruangan.

"Ada apa bang?"

"Rendi mana, bukannya dia bersama kamu untuk menyiapkan operasi"

"Dokter Rendi memang di sini tadi, hanya setelah itu ia pamit katanya ada sesuatu yang lagi ia persiapkan" jelas dokter Marwan, "Mungkin ia ada di ruangannya bang, mending abang cek disana saja"

My MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang