25

2.3K 139 21
                                    

Nafanya memburuh, ritme dadanya naik turun, seolah olah ia kehabisan pasokan oksigent dalam tubuhnya.

Berusaha meraup oksigent sebanyak banyaknya, peluh masih setia mengalir dari dahinya.

Satria menolehkan wajahnya tertujuh pada wanita yang sangat di rindukan, bahwa dalam keadaan amnessia pun ia masih ingin melihat bagaimana rupa orang tua kandungan itu, ia memang pernah berkata kalau ingin melupakan semuanya, namun tak dapat ia pungkiri kalau ia juga ingin mengenal orang tua kandungnya.

Satria terus menatap wanita itu, dan dengan satu gerakan cepat Satria ia sudah menenggelamkan wajah di lekukan leher wanita itu.

"Elang ingat semuanya bunda"  dengan suara yang serak, air matanya tidak dapat lagi di bendung, masa bodoh yang mengatakan kalau laki laki itu tidak boleh menangis.

Ia hanya ingin meluapkan segala perasaanya, seluruh beban yang dia punya selama ini.

"Elang sudah mengingat nya bunda, maafkan Elang yang dari awal tidak mengenali bunda," tambahnya lagi.

"Tidak apa sayang bunda bahagia kamu sudah ingat semuanya, bunda janji tidak akan meninggalkan kamu lagi," di kecupnya kepala Elang berulang kali, dengan derai mata yang tak tanggung tanggung lagi, melepas segala rindu yang selama ini hanya diam membeku.

Permana yang melihatnya, ikut menetaskan air, semua rasa sakit yang rasakannya selama ini berangsur ansur membaik.

"Ayah," panggil Elang, Permana yang melamun tersentak mendengar suaranya di panggil oleh anak yang sangat di rindukannya.

Permana berjalan kearah Elang, memandang lekat anak bungsunya, di peluknya Elang dengan sangat erat, menghilangkan semua rasa sesak yang dirasakannya.

Di regangkannya pelukan Elang, di usapnya kepala sang anak dengan penuh sayang.

"Hmm", suara deheman itu berasal dari Rendi, ia berjalan ke arah Elang, "give me big hug brother" di peluknya Elang bergantian dengan ayahnya Permana.

"Gue kangen banget sama lo, adek kecil gue," di acaknya rambut Elang, dengan sangat gemas.

"Makasih karena sudah mengingat kami nak"

Mata sayu Satria kembali menatap wajah Marsya, perempuan yang paling ia rindukan, perlahan Satria mengerjapkan matanya, kepalanya kembali berdenyut sakit, penglihatannya kabur, apa lagi setelah di rasa adanya lelehan yang keluar dari hidungnya.

"Astagfirullah alazdim, Sayang, kamu kenapa nak" panik Masya, melihat darah yang keluar dari hidung putranya.

Rendi lansung mengambil tindakan, memegang bahu Satria melingkarkan lengannya di leher bagian depan adiknya agar lebih mudah untuk Satria menunduk dan Rendi tetap masih bisa menahan tubuhnya.

Permana menekan tombol emergenci yang berada di samping ranjang, "Kamu tenang, putra kita tidak apa apa"

Tidak peduli dengan seragam putih yang di gunakannya Rendi tetap membuat Satria menunduk agar darah dari hidungnya bisa keluar agar tidak menyumbat pernafasannya yang akan berakibat fatal, darah terus saja mengalir mengotori baju putih Rendi.

"Sa..kit...."

Lirihan itu membuat semua yang ada dalam ruangan meneteskan air mata.

Dokter Marwan dan beberapa perawat masuk membawa berbagai peralatan.

Dengan menyuntikkan sesuatu di lengan Elang membuat darah berhenti keluar bersamaan dengan terenggutnya kesadarannya.

Rendi kembali membaringkan sang adik yang sudah dalam keadaan tidak sadar.

My MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang