38

1.9K 122 16
                                    


Terhitung sudah tiga kali Elang melakukan Radioterapi untuk seminggu ini, tidak terhitung juga barapa banyak isi perut yang ia keluarkan setiap kali selesai Radioterapi, tapi dukungan dari orang orang terdekatnya tidak menyurutkan semangat Elang untuk terus berjuang.

Terapi ketiga ini sedikit membuat Elang bisa sedikit bernafas lega karena perasaan mual yang sering menggelayuti tubuhnya pasca terapi sudah tidak separah terapi pertama dan kedua, terapi kali ini hanya perasaan lemas dan pusing yang dirasakan Elang, walau sedikit mual tapi minimal ia tidak sampai memuntahkan isi perutnya walau hanya cairan berwarnah agak kekuning kuningan yang bisa keluar, tubuh yang dulu berisi itu sedikit demi sedikit mengalami penurunan.

"Pusing...." keluhnya sambil memejamkan mata, sedangkan satu tangannya terus menggenggam erat tangan Marsya, hari ini cuma Marsya yang menemani Elang walau beberapa bodyguard masih setia berjaga dua puluh empat jam di depan pintu ruangannya, Permana dan Herlambang betul betul melakukan penjagaan ketat, apalagi selama Elang di Rumah sakit, ia belum bisa menemukan siapa dalang dari penyerangan tempo hari walau sebenarnya mereka sudah bisa menebak, tapi tuduhan tampa barang bukti sama saja tidak ada artinya.

"Tahan sebentar ya nak" kali ini tidak ada lagi air mata Marsya yang jatuh, ia bertekad untuk menjadi ibu yang kuat, kalau iya lemah bagaimana ia bisa menjadi penopang untuk putra bungsuhnya.

Ceklek...

Pintu ruangan terbuka membuat Marsya yang sedang memijit pelipis Elang menoleh.

"Rend....

Rendi yang berjalan masuk mengampiri Elang dan Marsya, "Gimana bun, masih pusing?"

"Hmm....dari tadi Elang mengeluhkan pusing nak"

Rendi mengusap surai hitam sang adik syukurlah karena rambut Elang tidak mengalami kerontokan seperti kasus kasus yang pernah terjadi sebelumnya, ini di akibatkan karena antibody tubuh Elang tetap kondusif selama proses Radioterapi dilakukan sehingga mampu merespon dengan baik sinar radiasi yang di berikan ketubuhnya.

Hanya saja mual dan muntah yang dialaminya tidak bisa di cegah karena pusat kanker berada pada bagian perut Elang, yang memang sejak awal sudah mengalami cederah.

Rendi mengeluarkan sebuah suntikan dan menginjeksi langsung pada lengan kiri sang adik, perlahan lahan Elang yang sedari tadi mengeluh pusing perlahan mulai tenang di ikuti dengan kedua tangan yang terkulai lemah, "Biarin adek istrirahat bun" kembali menyuntikkan sebuah cairan tapi kali ini Rendi menyuntikkan pada botol infus Elang.

"Semoga ketika Elang bangung ia sudah tidak mengeluhkan pusing" Rendi menghela nafas panjang, jujur saja pada tahap ini ia benar benar merasa khawatir. Hasil pemeriksaan terakhir adiknya itu kanker yang ada pada lambung Elang sudah sangat jauh mengalami penyusutan namun, di sinilah yang jadi khawatirkan Rendi.

Setelah proses Radioterpi menghasilkan hasil yang baik, maka selanjutnya akan di lakukan pembedahan guna mengangkat kanker dari tubuh sang adik. Apa ia sanggup, itu yang ia khawatirkan kalau mengenai keahlian dan keterampilannya jangan di tanya lagi, ruang operasi serasa ruang bermain olehnya tapi, kali ini dengan kasus yang berbeda, apa ia sanggup membedah adiknya sendiri.

"Bang...." Rendi tersentak ketika suara Marsya berdengung dalan pendengarannya, "Eh...iya bunda"

"Ngelamuni apa sih bang?" kali ini Marsya beralih mengusap rambut putra sulungnya, "Cerita sama bunda, abang ada apa."

Dengan senyum Rendi menatap Marsya, nggak perlu bunda tau apa yang menjadi kegalauan abang, "Nggak apa apa bun, Rendi nggak ada masalah apa apa, mending bunda juga istirahat sudah seharian bunda jagain Elang."

My MemoriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang