Lembar 10

1.9K 297 15
                                    

10 years ago

Musim panas pertama dengan daun yang mulai tumbuh dari cabang dahan pohon di Indonesia cukup menarik atensi bocah kecil berusia sepuluh tahun itu. Ia memang baru saja menginjakkan kaki di Indonesia, mengikuti ayahnya yang sedang melaksanakan dinas pekerjaan dari Australia ke Indonesia. Maklum, pekerjaan sebagai dokter spesialis bedah syaraf memang membuat dirinya sibuk.

"Dad, Chan boleh minta itu?" Christopher Bang Chan, nama lengkapnya. Kaki pendeknya mengayun berjalan mendekati meja berisi permen lolipop yang sangat menggiurkan bagi Chan.

Ayah dan ibunya sibuk memasukkan beberapa barang yang masih di luar. Mengabaikan Chan yang sedang menahan lapar.

"Dad?" tanyanya takut-takut. Tuan Bang melirik sekilas putra semata wayangnya. Kardus berisi pakaian yang berada di tangannya benar-benar menghalangi penglihatannya dari anaknya.

"Oh tentu sayang! Makan saja kalau kamu lapar. Dad masih sibuk beresin barang. Chan jangan makan loli banyak-banyak, ya?" Chan mengangguk senang. Ia meraih toples yang berada diatas meja, memakannya sembari menelisik pekarangan rumah yang berada di depannya.

Chan dapat melihat, seorang anak kecil yang lebih muda darinya lari terbirit-birit menjauhi pintu rumah utamanya. Diikuti seorang wanita paruh baya yang memegang tongkat dengan diameter tiga centimeter berdiri di ambang pintu rumahnya. Ia tersentak, saat mendapati anak kecil itu yang menyeka matanya.

Awalnya, Chan masih tak bergeming. Ia menimang, apa yang harus ia lakukan dengan anak itu?
Bagaimana jika anak itu tidak bisa menerima kehadiran Chan?
Apakah anak itu butuh seseorang?

Berbagai macam pertanyaan mulai berkecamuk, Chan menggeleng pelan. Memutuskan tindakan yang akan ia ambil.

Akhirnya, Chan mendekati anak kecil itu yang meringkuk di samping trotoar. Tangannya menggenggam empat permen loli yang diambil dari toples rumahnya. Kaki Chan bahkan sudah berada tepat di depan anak itu, tanpa anak itu sadari. Karena sedari tadi, anak itu menyembunyikan wajahnya pada kedua lututnya.

"H-hai?" Chan sedikit mengerti bahasa Indonesia, karena ayahnya yang mengajari beberapa kata yang mudah di ucapkan.

Merasa tak ada respon, Chan memegang pelan lengan anak itu. Membuatnya kembali merasa takut saat bertemu dengan orang asing.

"Aku tidak jahat." anak itu masih meringkuk, menjauhi Chan yang semakin gencar mendekatinya. "Aku membawakan empat buah permen, kamu mau?" anak laki-laki itu tetap tak bergeming. Ia lebih memilih meringkuk menjauhi Chan.

"Aku tidak akan menyakitimu." Chan gencar untuk dapat duduk di sampingnya. Berharap, jika anak kecil itu akan mempersilakannya.

"Aku takut," lirihnya. Chan yang tidak mengerti hanya mendekatinya lagi dan memeluk anak itu dari samping. Menepuk-nepuk dengan telaten lengan anak itu.

"Kata mama, kalau aku di peluk, takutnya hilang. Takutmu sudah hilang?" anak itu mengangguk kecil. "Namamu, siapa?" tanya Chan di sela-sela kegiatannya.

"Unjin." Chan mengerutkan keningnya.

"Unjin?" ulang Chan.

"Oke, Unjin. Mulai sekarang kita berteman, ya? Panggil aku Chan!" Chan mengulurkan tangannya ke depan anak itu. Ia menerima ulurannya, mengangguk kecil atas permintaan Chan.

Setelahnya, mereka tersenyum bersahabat. Menjalin pertemanan untuk pertama kalinya bagi Hyunjin.

Hyunjin memang tidak pernah mempunyai teman. Mereka tidak ingin berteman dengan Hyunjin, katanya Hyunjin itu menyeramkan, terlebih ketika ibunya menyeret tubuh Hyunjin saat bermain untuk menjauhi teman-temannya.

"HYUNJIN!!" Teriakan ibunya, kembali menyadarkan Hyunjin dari genggaman tangannya. Ia mendongak takut menatap ibunya yang berjalan mendekatinya, sembari membawa tongkat berdiameter tiga centimeter. "PULANG!!" satu pukulan mendarat pada punggung kecil Hyunjin. Menyerah pasrah saat ibunya menyeretnya kembali untuk pulang.

Chan tidak paham, ia tidak tahu harus bersikap seperti apa. Ia hanya melihat, Hyunjin kecil yang menangis meraung dengan pukulan yang berkali-kali mendarat pada punggung kecilnya.

<Crazy In Love>

"Hyunjin! Kamu kenapa?" Hyunjin terbangun dari tidurnya. Peluh membasahi dahinya, bibirnya bergetar. Memorinya sedikit terkuak, Chan yang berada di sebelahnya sangat cemas melihat Hyunjin yang berpeluh seperti itu.

"Kak Chan.." lirihnya. Ia menatap Chan dalam.

"Iya, sweety? Ada apa, hum?" Chan mendekatinya, mengusak sayang surai hitam legam milik Hyunjin.

"Aku takut, tolong peluk aku." Chan tersentak dengan permintaan Hyunjin. Ia tersenyum hangat, tangan kokohnya ia bawa untuk merengkuh tubuh kecil Hyunjin. Chan mengusap sayang punggung sempit Hyunjin memberikan afeksi ketenangan pada dirinya. Pelukan Hyunjin semakin mengerat, air matanya kembali tumpah, masa lalunya yang sempat tidak ia ingat kini kembali muncul, perlahan namun pasti. Ia kembali merasakan ketakutan yang paling dalam.

"Aku benci, ibu!" satu kalimat berhasil lolos dari bibirnya. Chan tahu, bahkan terlampau paham dengan ucapan Hyunjin. Ia membubuhkan kecupan ringan pada pucuk kepala Hyunjin. "Terimakasih, untuk segalanya, kak."

-RION-

[3] Crazy In love {ChanJin} Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang