•Start!•
Sorot cahaya ibu bumi yang terang-benderang menembus kaca kamar Eiga yang dilapisi gorden putih bersih di sana. Mentari perlahan-lahan menyapu kenyenyakan Eiga, matanya mengerjap lalu ia menguceknya beberapa kali.
Bagaikan kucing yang kedinginan, Eiga menarik kembali selimut birunya dan kembali terlelap. Ia sama sekali tidak mengetahui bahwa jam sudah menunjukkan pukul 05:45,
Ya! Hampir jam 6."Eiga ... bangun! Udah mau jam 6 sayang .... " Suara keras bagaikan alarm Eiga terdengar dari lantai bawah. Eiga tersenyum tipis, tidak setiap waktu ia dapat mendengar suara teriakan orang yang sudah membesarkannya itu.
Ibu Eiga selalu sibuk. Tidak hanya ibunya, ayahnya pun begitu. Selalu sibuk dengan urusan bisnis masing-masing. Eiga merupakan anak semata wayang. Tanpa seorang adik, ataupun kakak.
Eiga tersenyum tipis lagi. Kali ini ia sudah bangun. Dengan menggaruk-nggaruk kepalanya, Eiga tidak menyadari kalau rambutnya acak-acakkan, seperti sarang burung.
•••
Eiga bergabung ke ruang makan, di mana semua orang duduk dan menikmati sarapan pagi. Di sana sudah ada ayah Eiga-Ferdinand dan ibunya-Risa.
Eiga menyapa semua orang dengan senyum hangatnya. Ia tidak mau lambat kali ini. Eiga hanya memakan dua roti selai coklat dan meneguk susu hangatnya dengan terburu-buru.
Bahkan Eiga tidak sempat berpamitan, ia langsung pergi.Melihat putrinya sudah pergi, Risa menghirup napas dalam-dalam sembari menatap suaminya yang tengah makan. Bukan tatapan hangat dan menyenangkan, tapi tatapan seperti orang yang benci terhadap sesuatu, tetapi disembunyikan dengan keramahan yang ada ketika Eiga sedang bersama dengan Risa dan Ferdinand.
"Aku akan pergi setelah ini," ucap Risa sembari memberesi piring, dan meneguk air. Ia menatap suaminya lagi dengan tatapan tidak suka. "Kita serumah, bukan berarti hubungan kita baik-baik saja."
Risa berdiri. Dan melangkah untuk meninggalkan rumah. Kembali berbisnis dan selalu sibuk.
Mendengar itu. Selera makan Ferdinand lenyap begitu saja. Tidak sengaja ia memukul meja makan dengan sangat kerasnya karena emosi.
"Baiklah. Aku menyesal selalu berakting di depan Eiga bersamamu."
•••Di sinilah Eiga bersekolah, ia berjalan melewati koridor yang lumayan ramai dengan siswa-siswi yang berjalan ke sana kemari. Eiga sedikit risih saat melihat keramaian seperti ini.
Samar-samar indra pendengaran Eiga menangkap suara lirih yang tak jauh darinya. Eiga hanya menggeleng mendengar beberapa kakak kelasnya membicarakannya.
"Lihat itu si Eiga!"
"Mana?"
"Itu yang lagi jalan ...."
"Ohh, emangnya kenapa?"
"Dia itu tajir."
"Oh ... pantesan. Kelihatannya sombong gitu ya."
"Iya kali. Tajir? Sebagian mah sombong kaya dia."
Itu memang benar. Eiga adalah anak orang kaya, ayahnya adalah seorang pengusaha besar yang ada di daerahnya. Ralat, ayah Eiga adalah seorang pembisnis sukses. Perusahaan ayahnya Eiga sudah bercabang di mana-mana. Hal ini yang membuat hidup Eiga lebih mewah. Apa-apa yang Eiga inginkan selalu terpenuhi. Mobil pribadi? Eiga punya, Handphone mahal? Eiga juga punya.
Namun, semua itu tidak membuat Eiga sombong.
Ya, walaupun jika dia dilirik dari sifatnya, memang Eiga sedikit lebih cuek daripada teman-temannya
KAMU SEDANG MEMBACA
DEIGA [On Going]
Teen Fiction"Kenalin om. Dico, cowoknya Eiga" -Dico Jean Pratama, alias es kutub utara yang sifatnya berubah semenjak bertemu dengan gadis bernama Eiga Quenzi Reika. "Kenapa nggak sekalian lamar anak saya aja, gimana?" ••••• Ini adalah kisah tentang Eiga Quenzi...