Malam itu Ibu menelepon dan memberitahu aku, tiga hari lagi Mbak Fira kakakku yang paling tua mau pindah ke rumah barunya. Kebetulan aku memang lagi cuti kerja, Ibu memintaku pulang ke Jogja.
"Hari minggu mbakyumu pindah rumah, pulang ya, Nak! Sekalian Ibu mau mengenalkan kamu sama anaknya Pak Rudi."
Sejenak aku terdiam mendengar ujung kalimat yang diucapkan Ibu. "Ibu pasti mau menjodohkan aku lagi," pikirku.
"Widi ndak suka dijodoh-jodohkan kayak gitu, Bu," aku berusaha menolak rencana Ibu, namun Ibu terus membujuk.
"Anaknya Pak Rudi itu tampan lho, baik. Pokoknya serasi banget sama anak Ibu yang cantik ini."
Setelah itu aku tidak tahu harus berkata apalagi memberi pengertian kepada Ibu. Aku tidak suka dengan rencana ibuku, tapi aku juga tidak ingin ibu kecewa. Belum sempat aku menjawab, Ibu kembali berkata. "Perjodohan kalau sama-sama cocok apa salahnya. Kalau tidak cocok, ya ndak usah diteruskan." Begitu cara Ibu meyakinkan aku. Cukup lama aku terdiam dan berpikir, sebelum aku menyetujui permintaan Ibu.
Aku tidak habis pikir, kenapa Ibu begitu semangat memintaku untuk segera menikah. Padahal usiaku masih sangat muda. Baru seminggu yang lalu aku merayakan ulang tahunku yang ke dua puluh satu. Aah sudahlah, orang tua manapun pasti ingin melihat anaknya bahagia. Jika anaknya bahagia, sebagai orang tua ia juga pasti ikut bahagia.
***
Sabtu pagi selesai salat subuh, kubuka lagi koper kabin yang sudah kusiapkan dari tadi malam. Di dalamnya telah tersusun pakaian, charger handphone, serta benda lain yang sekiranya kubutuhkan selama berada di kampung halaman. Tidak lupa aku membawa print out tiket kereta Lodaya pagi yang akan mengantarkan aku dari Stasiun Hall Bandung menuju Stasiun Tugu Yogyakarta. Setelah itu aku bergegas melangkah keluar dari indekos untuk berpamitan kepada Ibu kos, sekaligus menitipkan kunci kamarku.
Suasana di luar masih sangat sepi dan gelap, belum terlihat cahaya terang yang biasa memancar secara horizontal pada garis cakrawala. Usai berpamitan kepada Ibu kos, kuayunkan langkahku menuju pintu gerbang.
Pukul setengah tujuh, aku tiba di Stasiun Hall, masih ada waktu setengah jam lagi sebelum jadwal keberangkatan, aku memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu. Usai sarapan, aku bergegas menuju ruang tunggu stasiun. Tidak lama menunggu, kereta Lodaya pagi yang akan mengantarkan aku menuju Stasiun Tugu Yogyakarta tiba.
Jarak tempuh selama delapan jam aku rintang dengan membaca buku yang sudah kusiapkan sebelum berangkat. Pukul tiga sore aku sudah tiba di Stasiun Tugu. Di sana telah menunggu Mbak Fira dan Mas Agung, mereka memang sengaja menjemputku.
Dua puluh menit dari Stasiun Tugu, mobil yang dikendarai Mas Agung berhenti dan parkir tepat di halaman rumahku. Alhamdulillah, aku tiba dengan selamat setelah menempuh perjalanan panjang nan melelahkan. Senang rasanya bisa bertemu dan berkumpul dengan orang-orang yang aku sayang. Rasa lelah di perjalanan terbayar sudah, ketika aku melihat senyum bahagia mereka. Ibu, Bapak, Mbak Fira, Mas Agung, banyak waktu dan cerita bersama mereka yang terlewatkan, semenjak aku memutuskan merantau ke Tanah Pasundan.
Setelah merebahkan diri selama tiga puluh menit, aku melangkah ke dapur. Dari tadi aku mendengar Ibu dan Mbak Fira tengah sibuk memasak. Tapi niatku untuk membantu mereka tidak kesampaian. Ketika aku tiba di dapur, mereka telah selesai memasak. Namun aku melihat ada yang aneh, Ibu dan Mbak Fira membuat menu masakan cukup banyak. Penasaran, aku bertanya pada Ibu.
"Bu, masaknya kok banyak banget?"
"Ada tamu istimewa mau datang nanti malam."
"Tamu istimewa ... siapa, Bu?"