Mang Udin uring-uringan, ia merasa frustrasi dengan hidupnya. Jatah libur kerja yang ia dapat hari itu, ia manfaatkan secara maksimal untuk memaki-maki dirinya sendiri, ia memaki nasibnya, memaki mimpinya, memaki kenyataan. Mang Udin merasa ada portal hitam penuh nista yang menghalangi langkahnya dalam menjemput impian.
Kaya, kaya, kaya, tiga kata itu menjadi motivasi satu-satunya hidup Mang Udin. Tetapi apalah daya, status sebagai karyawan kasta bawah dengan gaji ala kadarnya, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, terkadang malah kurang.
Gelap mata, Mang Udin bergegas keluar rumah mengendarai sepeda butut produksi zaman kolonial peninggalan kakeknya. Keputusan Mang Udin telah mantap, tidak bisa diganggu gugat, tiada seorang pun yang dapat menghalangi, bahkan setan sekalipun akan ia hajar, jika berusaha menghalangi keputusan yang ia buat, walau pada kenyataannya, tanpa Mang Udin sadari, setan telah menjadi sponsor tunggal atas keputusan tersebut, sehingga ia menjadi kalap. Mang Udin mendatangi dukun sakti yang konon katanya bisa menjadikan seseorang kaya secara instan.
"Mbah! Mbah!" teriak Mang Udin tergesa, usai menyandarkan sepeda pada tiang penyangga teras, di rumah milik dukun sakti.
"Mbah!" Kembali Mang udin memanggil dengan suara lebih lantang, sambil mengetuk pintu.
Lima menit berlalu, pintu belum juga terbuka.
"Dasar dukun amatiran ... pasien datang kok dicuekin, nggak profesional banget. Kalau nggak niat jadi dukun, pensiun aja," dumel Mang Udin.
Lima belas menit kemudian, pintu terbuka perlahan. Seorang pria paruh baya muncul dengan sorot mata tajam.
"Masuk!"ucapnya tegas.
"Kok lama, Mbah?" tanya Mang Udin sembari melangkah sedikit tergesa.
Dukun sakti batuk tiga kali sebelum menjawab tanya Mang udin.
"Sampean harus tahu ... sesakti saktinya dukun sakti, pun juga bisa diserang menceret."
Mang Udin tersedak menahan tawa. "Ini dukun sialan mengandung unsur-unsur kekomedian juga kayaknya nih," dumel Mang Udin.
"Apa tujuan sampean datang kemari?" tanya dukun sakti setelah mereka berdua duduk saling berhadapan di atas tikar.
"Anu, Mbah, saya pengin kaya."
Dukun sakti mendengus.
"Apa motivasi sampean pengin kaya?"
Mang Udin tertawa, "Ha-ha-ha, Mbah ini aneh, semua orang pasti pengin kaya, Mbah. Siapa yang nggak mau kaya?"
"Diam!" bentak dukun sakti, "jawab serius!"
"Saya sudah bosan hidup melarat, Mbah. Dari lahir hidup susah penuh derita. Tolonglah saya, Mbah, saya ini orang tidak mampu, Mbah?"
Dukun sakti mengangguk-anggukkan kepala.
"Oke, oke, sekarang sampean pulang dulu ... minta surat pengantar dari RT RW, buat SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu), setelah itu datang lagi kemari."
"Walah dalah! Apa-apaan ini? Saya ke sini pengin kaya, Mbah! Bukan pengin ambil BLT."
"Sampean kira cuma birokrasi di pemerintah aja yang berbelit-belit? Tidak! Birokrasi perdukunan juga."
Emosi Mang Udin meledak tak terbendung. Ia berdiri, kemudian melangkah keluar rumah dukun sakti, sembari menyenandungkan nyanyian merdu tanpa birama tetap.
"Dukun gobl*k, dukun anj*ng, dukung mony*t, dukun bab*!Pengin kaya aja dipersulit."
Bandung, 04 Desember 2021
TM Hendry, s