Jen berlari secepat bayangan keluar kamar setelah menyambar tas berisi buku pelajaran miliknya. Jarum jam tepat berada di angka delapan, mata pelajaran pertama pagi itu sudah sahih terlewatkan. Jen kalang kabut melangkah pontang-panting, tanpa sempat mandi, gosok gigi, apalagi sarapan pagi.
Skuter warna merah muda bergambar hello dangdut, ah typo! Maksudnya bergambar Hello Kitty, Jen pacu membelah jalan dalam kota. Hingga skuter tersebut melambat dan berhenti di depan sebuah perlintasan kereta api. Dongkol yang tidak terelakkan bersenandung di balik dada Jen.
“Sial,” gumamnya.
Mata Jen menatap bengis ke arah petugas penjaga perlintasan yang berdiri tidak jauh.
Beberapa menit berlalu, kereta yang melintas ternyata hanya satu gerbong dan itu membuat Jen semakin dongkol.
“Neng, kok cemberut,” ucap petugas penjaga perlintasan menggoda Jen.
“Gimana nggak cemberut, Pak. Telat nih! Kereta pakai acara lewat pula. Lagian Bapak, kereta lewat bukannya disetop malah da da da da. Udah gitu kereta yang lewat cuma sobongkah doang, sebel deh.”
Petugas tertawa mendengar ocehan Jen.
“Itu namanya kereta instan, Neng. Jadi, ya cuma satu gerbong aja.”
“Mmmm, terima kasih penjelasannya, itu kereta apa mi rebus sih? Bodat ajalah Pak, ya,” tutup Jen sebelum berlalu.
***
Esok harinya, sejarah yang belum pantas disebut sejarah kembali terulang. Masih dengan keterlambatan yang sama, muka kusut yang sama, seragam lusuh yang sama, tanpa mandi, tanpa gosok gigi, tanpa sarapan pagi. Yang berbeda hanya satu, aroma jigong pagi itu sedikit lebih dahsyat jika harus dibandingkan dengan aroma hari sebelumnya, walau sebenarnya tidak penting dan kurang kerjaan banget untuk membandingkan. Namun, derajat suhunya masih sama, jika diukur menggunakan alat ukur panas tubuh bayi.
Keterlambatan yang sama, pun dengan skuter yang sama, terhenti di tempat yang sama, sebuah palang perlintasan kereta yang sama kembali menghalangi laju motor Jen.
“Sial!” umpat Jen penuh amarah.
Lima menit berlalu, lima belas menit berlalu, setengah jam, satu jam, hingga menjelang siang, palang perlintasan masih membentang, sementara gerbong yang melintas tidak berkesudahan.
Menjelang tengah malam, gerbong yang melintas tidak kunjung usai. Amarah Jen memuncak, matanya melirik orang-orang di sekitarnya yang tampak santai, ada yang tengah menyeruput secangkir kopi, ada yang sedang membuat mi rebus, jagung rebus, pisang rebus, kacang rebus, kepiting rebus, juga udang rebus.
“Dunia yang aneh,” gumam Jen terheran-heran.
Tiba-tiba Jen terkesiap, ketika ekor matanya melihat seorang berkumis tebal tersenyum dengan tatapan penuh kemenangan.
“Pak! Apa-apaan ini? Kereta macam apa yang melintas, dari pagi sampai menjelang tengah malam gini kok nggak tuntas-tuntas?”
“Hmmmm, ini namanya kereta kehidupan, Neng. Gerbong ini baru akan usai setelah kehidupan usai. Kemarin protes karena gerbongnya cuma sebongkah doang, dikira gerbong rendang padang apa, ya, ha-ha-ha.”
Jen melongo. “Tapi ... gagiduy juga keles, Bapaaaaaaaaaaaaak!”
Petugas palang perlintasan tertawa terbahak-bahak. Jen semakin dongkol, matanya menyala menyemburkan api, nuraninya terbakar, gejolak di balik dadanya seperti bom waktu yang siap meledak, dinding pertahanan jiwanya meleleh bagai embun yang menetes di ujung pagi tanpa kepastian.
“BODAAAAAAT!” teriak Jen, sebelum melahap semua buku pelajaran yang ia bawa, kemudian berubah menjadi zombi.
Tawa petugas penjaga perlintasan semakin menjadi-jadi.
"Waktu ada sebelum kita ada, waktu akan tetap ada ketika kita tiada. Manfaatkan waktu yang ada, jangan sia-siakan waktu yang dimiliki, ha-ha-ha," suara petugas membahana, sementara taring-taring tajam penuh darah keluar di sela bibirnya.
Kasat-kusut kabar yang beredar, belakangan diketahui, petugas penjaga perlintasan tersebut bernama Zul Sweet Child O’ Mine, oh, oh, oh Sweet child o' mine.
--------