TUJUH

3.4K 364 3
                                    

Entah harus bersyukur atau mengumpat setelah menjawab panggilan yang memotong obrolannya dengan Berlian, yang pasti Adel harus segera tiba di SMAN 5. Beruntung jalanan tak begitu padat dan sang supir taksi lebih memilih melalui jalan akses tol Serang Timur sebelum berbelok ke Jalan Armada. Hingga bisa memangkas waktu daripada melalui kawasan Jalan Jenderal Sudirman lalu berbelok di persimpangan lampu merah Trip Jamaksari yang biasa dilalui Adel.

Setelah membayar sesuai tarif, Adel bergegas memasuki pelataran parkir SMAN 5. Seorang siswi berpakaian putih abu berlari menyongsongnya.

"Kamu?"

"Zeze. Yang tadi nelpon, Kak," jawab siswi itu seraya mengarahkan Adel menuju meja piket guna meminta surat izin masuk.

Beberapa guru yang dikenali Adel disapanya dengan mencium punggung tangan. Semakin mendekati tujuannya jantung Adel berdegup semakin cepat, membuatnya sedikit kesulitan bernapas.

"Kak," suara Zeze membuat Adel menoleh. "Apapun yang Kak Adel dengar dan lihat, aku mohon Kakak jangan langsung nge-judge Dirga ya."

Walau tak paham dengan maksud remaja itu, Adel tetap mengangguk pelan. Beberapa kali Adel menghirup dan membuang napas sebelum memasuki ruangan asing yang kini hanya berjarak dua meter darinya.

"Jangan marahin Dirga ya, Kak," pinta Zeze lagi, sebelum mengetuk pintu ruang BK yang langsung dibuka olehnya.

"Silakan masuk."

Adel tersenyum tipis seraya melangkahkan kakinya. Selama duduk di bangku sekolah, ruang BK adalah satu-satunya ruangan yang sebisa mungkin tidak dikunjungi Adel. Dan dia akan tetap memegang teguh prinsipnya jika bukan karena Dirga yang kini menatapnya tak acuh sambil duduk santai di sana. Terlebih saat menangkap pengajar di depannya ini melihatnya dengan tatapan merendahkan.

"Orang tua Dirga?"

"Saya kakaknya, Bu."

Adel membiarkan wanita yang ditaksir tak beda jauh usia dengan dirinya itu melakukan penilaian sekali lagi. Lalu ikut duduk di samping Dirga setelah dipersilakan.

"Orang tua kalian pasti sibuk sekali ya, sampai nggak bisa luangin waktu untuk anaknya."

"Orang tua kami memang tinggal di luar kota, Bu. Jadi nggak bisa datang kalau mendadak," terang Adel sedikit tersinggung dengan pernyataan guru BK Dirga.

"Well, tadinya saya berharap bisa ketemu langsung sama orangtua Dirga. Karena jujur saja, saya sudah nggak sanggup mengurus anak mereka."

Adel melirik Dirga yang masih bersikap tak peduli. Belum sempat menyuarakan pertanyaan yang terlintas di otaknya, mulut Adel menganga melihat sebungkus rokok dan beberapa majalah dewasa diletakkan sang pendidik di atas meja. Ruangan berukuran empat kali enam yang berisi satu meja guru plus dua bangku -yang sedang mereka duduki- juga satu set sofa santai itu terasa lebih sempit dari ukuran sebenarnya. Sesak yang tadi sempat hilang, kini menyerang kembali.

"Kami menemukan semua ini di tas Dirga saat razia."

"Udah saya bilang, itu bukan punya saya," bantah Dirga santai membuat Adel menoleh padanya.

"Ini semua dari tas kamu, Dirga."

"Ada yang masukin itu ke dalam tas saya, Bu."

"Siapa?"

"Mana saya tau!"

"Maling nggak akan ngaku bahwa dirinya maling!"

Adel hanya diam memperhatikan interaksi antara siswa dan guru muda itu, menunggu waktu yang tepat untuk berpendapat. Itupun jika diperbolehkan, karena dari gerak-geriknya guru muda yang masih tak Adel ketahui namanya itu tak akan memberi celah untuk dibantah.

"Ini surat skorsing kam---"

"Ibu nggak mau tanya pendapat saya?" tanya Adel menyela, setidaknya guru ini harus bertanya dulu mengenai keseharian sang adik di rumah sebelum memberi keputusan. Paling tidak itu yang dirinya dengar saat ada temen yang bermasalah.

"Buat apa? Kamu pasti membela adik kamu kan?"

"Hah?"

"Ck! Udah sih, Kak. Terserah dia aja mau gimana. Buang-buang energi tau nggak!"

Dirga menyambar kertas di hadapannya lalu keluar ruangan tanpa pamit.

"Saya masih berharap bisa bertemu langsung dengan orang tua kalian untuk membicarakan masalah serius ini."

"Melihat cara Ibu, saya pikir nggak perlu ada pertemuan orang tua. Toh  hukuman juga sudah diberikan kan?"

Tanpa ingin berlama-lama Adel menyusul Dirga. Mencoba menghubungi ponsel remaja itu karena tak menemukan sosoknya di koridor, sejauh matanya memandang. Diberikan senyumnya pada seorang guru jaga saat melintasi meja piket. Saat itulah matanya menangkap Dirga yang sedang berbincang dengan Zeze, siswi yang menyambut kedatangannya tadi, di bawah pohon beringin.

"Mobil lu mana?" tanya Dirga begitu Adel tiba di depan mereka.

"Ya Allah, gue tinggal di kampus!"

"Ck, si Oneng!"

"Ish! Yang sopan, Dirga." sahut Zeze mendepak bahu Dirga pelan.

"Apaan sih, Ze?!"

"Lu yang sopan dong. Kakak sendiri masa dibilang oneng."

"Lha emang Kak Adel oneng kok. Ngapain coba dia tinggalin mobilnya di kampus?"

"Itu gara-gara elu!"

"Ck, berisik! Jadi sekarang gimana? Lu mau gue anter pulang atau gimana, Kak?"

"Ya lu anterin lah, Oon!"

"Please, lu lebih oon dari gue, Ze." Dirga bersiap diatas motor besarnya, mengenakan helm full face yang menutupi wajah tampannya. "Lu minta jemput ama abang aja ya. Gue langsung ke lokasi kayaknya," tambah Dirga yang masih terdengar jelas oleh Zeze walau tertutup helm.

"Iya iya. Hati-hati. Kalau Dirga ngebut cubitin aja, Ka."

Zeze mengambil tangan Adel untuk kemudian dicium punggungnya. Membuat Adel mematung karena takjub. Tak banyak pelajar kini yang melakukan tradisi itu dengan orang asing.

"Malah bengong, buruan Kakak!"

"Iya iya. Duluan ya Zeze. Kapan-kapan main ke rumah."

"Iya, Kak. Insyaallah."

Hanya beberapa detik berselang, suara bising motor Dirga memecah keheningan jalan di siang bolong.

"Zeze manis ya," puji Adel begitu motor Dirga sudah terakhir di garasi rumah. Dengan kecepatan 60Km/h hanya butuh waktu lima menit bagi keduanya untuk tiba di rumah.

"Hm."

"Lu pacaran---"

"Cetek amat sih pikiran lu, Kak. Kalau deket emang harus pacaran gitu?"

"Eh enggak ya? Wah, gue tertipu dong. Kirain adik tersayang gue udah nggak jomlo lagi, ternyata... Yang sabar ya, Mlo."

"Ngaca, Mbak. Emang situ punya pacar? Ck, miris!"

Usai menyelesaikan ucapannya Dirga berlari masuk rumah. Tak lagi peduli pada teriakan Adel yang berhasil menembus isi rumah, bahkan oma yang berada di taman belakangpun ikut terkejut.

***



Sekedar info aja, gak tau penting atau gak.

Ruang BK SMAN 5 Serang itu kayaknya lebih luas dari yang gue bikin ya. Terus guru BK-nya gak cuma 1, tapi 3 orang. Itu dulu sih, dua tahun lalu waktu adek gue masih sekolah di sana.

Terus pelataran parkir yang dipake Dirga dan Zeze nunggu Adel juga aslinya khusus buat tempat parkir kendaraan guru. Buat murid-muridnya ada parkir khusus di belakang ruko seberang sekolah. Itu juga mulai berlaku baru 2-3 tahun ini.

Gitu aja sih.

See you next bab 😚😚

 

Bangka, 02.05.19
Dwi Marliza

Remember Me (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang