DUA PULUH ENAM

2.5K 316 8
                                    


Ada rasa tak tenang yang mendera Kaisar saat meninggalkan dua gadis itu di depan rumah sahabat mereka. Inginnya dia terus membuntuti ke manapun mereka pergi.

Lebih tepatnya gadis yang sekarang menjadi tanggung jawabnya, setelah memperoleh kepercayaan sang nenek untuk menjadi pelindung cucunya.

Seharusnya.

Namun Kaisar tak bisa mengabaikan begitu saja panggilan Berlian yang terdengar sangat putus asa. Terlebih kata maaf tak berhenti diucapkan gadis itu sambil menangis.

Setidaknya ada Rahma yang akan menjaga gadis itu sesaat. Paling tidak itu yang terus ditanamkan Kaisar untuk memedam rasa khawatir.

Sesampainya di tujuan, Kaisar secepat mungkin menemui Berlian. Gadis itu tengah menangis tersedu, bersandar di papan ranjang sambil memeluk boneka beruang kesayangannya sejak kecil.

"Ana?"

"Kai."

Tangis gadis itu semakin pecah saat Kaisar menghampirinya. Tanpa ragu dipeluknya raga lelaki itu.

"Maafin aku, Kai. Maafin aku."

Kaisar menepuk pelan pundak Berlian. Mencoba menenangkan walau hatinya sendiri tengah gelisah.

"Kamu udah makan?"

Berlian menggeleng pelan. Berusaha terus menahan Kaisar yang mulai tak nyaman dengan kedekatan mereka.

"Saya masakin sesuatu ya. Kamu bisa cerita sambil makan. Oke?"

Sekali lagi Berlian menggeleng, menolak saran Kaisar.

"Ana---"

"Kamu nggak akan tinggalin aku kan? Kamu udah janji untuk terus jaga aku, Kai."

Kaisar menghela napas pelan. Lagi-lagi dia diingatkan pada tugasnya. Tugas yang membuatnya selalu terikat pada gadis ini. Setengah memaksa, Kaisar menguraikan pelukan Berlian. Ditatapnya wajah sembab teman kecilnya itu dengan mata menyipit tajam.

"Kamu bikin masalah apa?"

Berlian menunduk, menggigit bibirnya dalam-dalam. "Aku...."

"Ana, saya nggak bisa bantu kalau kamu nggak jujur," tegas Kaisar tak ingin lebih lama membuang waktu.

"Aku ... Kebakaran...."

Kaisar bisa merasakan keringat dingin seketika keluar dari pori-pori kulitnya. Matanya sedikit membesar beradu dengan jantung yang mulai berdegup cepat.

"Aku penyebab kebakaran itu."

"Kamu? Bakar mobil Kay---"

"Panti."

Tubuh Kaisar mematung. Kilasan demi kilasan tragedi belasan tahun lalu kembali berputar di benaknya. Perlahan kaki Kaisar mulai menjauh.

"Kai, aku---"

"Kamu...."

"Aku terlalu marah hari itu. Aku nggak suka lihat dia di dekat kamu teeus. Ikutin kamu ke mana-mana. Gangguin kamu."

"Itu sudah tugas kita menyam---"

"Tapi aku nggak suka! Aku yang pertama kenal kamu! Aku yang lebih berhak atas kamu!"

"Demi Tuhan, Berliana! Kita masih terlalu kecil waktu itu!"

"Tapi yang aku rasa nyata, Kai! Aku suka kamu! Dulu, sekarang, perasaan aku nggak pernah berubah buat kamu!"

"Sinting!"

"Sinting? Kalau aku sinting, terus kamu apa?" kekeh Berlian seraya mengusap pipinya. "Kamu sengaja datang ke kota ini untuk cari dia kan? Tapi apa yang kamu dapat? Dia nggak pernah lihat kamu. Kamu sendiri yang bilang, dia bahkan nggak keberatan waktu tau kita pacaran. Di dunia dia, kamu nggak pernah ada, Kai. Nggak pernah ada."

Kaisar bergeming, membiarkan Berlian mencurahkan segala isi hatinya. Mengabaikan perang yang tengah terjadi antara hati dan pikirannya.

"Maaf, Kai. Maafin aku."

Dan sepertinya bukan hanya dirinya yang bermasalah. Berlian jelas terlihat lebih kacau. Kembali menangis setelah tadi berteriak kehilangan kontrol.

"Saya masakin kamu---"

"Adel dalam bahaya."

Kaki Kaisar yang baru akan meninggalkan kamar terhenti di tempat. Matanya kembali menatap tajam pada Berlian yang sepertinya mulai bisa mengendalikan emosi.

"Anak dari petugas kebakaran itu datangin aku untuk bikin kesepakatan. Tugas aku cuma satu, jauhkan Adel dari jangkauan siapapun. Terutama kamu."

Suara Berlian semakin terdengar samar saat Kaisar sudah lebih dulu berlari menjauh sebelum gadis itu selesai bicara. Tanpa mengurangi kecepatan kakinya, Kaisar mencoba menghubungi Rahma yang tak kunjung mendapat respon. Dilajukan mobilnya tanpa mengindahkan ibu-ibu kompleks yang berteriak menyumpahinya karena mengebut di area padat penduduk. Masa bodo dengan semua itu. Yang ada dipikirannya hanya satu, bertemu Kayra secepatnya.

Setiba di rumah Ninda, jantung Kaisar terasa berhenti berpacu saat tak mendapati siapapun di sana. Kembali dirogoh sakunya untuk mengambil ponsel dan melakukan panggilan telepon.

"Dit, cek lokasi Rahma. Sekarang!"

Tak butuh waktu lama, Radit sang penerima telepon sudah berhasil memberi jawaban.

"Gue jemput lu."

 

*****






Dih, makin menuju ending makin dikit aja sih isinya... Serebu kata juga kayaknya nggak nyampe...

~ Sesereader

Ya nggak apa-apa lah ya...
Ini kan lapak saya...
Suka-suka saya mau gimana...
Kalau nggak suka ya silakan out, bikin cerita sendiri kalau perlu...
Gak ada paksaan kok buat tetap baca... Kalau masih mau baca ya terima kasih dan sila tunggu kelanjutannya...

Hidup udah ribet, tsay....  Urusan kecil begini mah jangan dibikin panjang...

Santuy ae... Santuyyyyy.......

Wkwkwkwkwkwkwk

   

#apadah

Tetap semangat kejar deadline... 💪🏻💪🏻💪🏻💪🏻💪🏻💪🏻💪🏻

 

Bangka, 30.12.19
DM, yang lagi nge-sok!! 😝😝😝😝

Remember Me (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang