DUA PULUH LIMA

2.5K 297 2
                                    

Seandainya bisa, sudah pasti Adel akan menolak keputusan sang nenek untuk mempekerjakan Kaisar sebagai supir dadakannya.

Bagaimana tidak, lelaki yang merangkap sebagai satpam pribadi itu juga memberlakukan peraturan ketat bagi Adel. Mulai dari kewajiban masuk kelas, mengumpulkan tugas tepat waktu, menghabiskan waktu di perpustakaan jika belum mau pulang  dan —yang paling parah— menolak untuk melakukan hal-hal unfaedah seperti jalan-jalan ke mall ataupun makan di luar.

"Temenin gue beli hp, Ma."

Itu bukan ajakan, tapi perintah. Sudah cukup rasanya Adel menahan diri selama beberapa hari untuk mengikuti segala peraturan Kaisar. Hari ini dirinya berniat untuk menghibur diri walau sejenak. Dan Rahma dianggap mampu menjadi pelicin jalannya.

"Nggak sama Kak Kai aja, Del?"

"Nggak. Nggak bakal mau juga dia."

Rahma melirik pada meja tengah kantin yang berisikan Radit dan teman-temannya, termasuk Kaisar.

"Gue bilang Radit dulu deh."

"Harus banget?"

"Komunikasi itu penting dalam suatu hubungan."

"Gue masih nunggu cerita lengkapnya, by the way."

"Ya Allah, Del, masih inget aja sih."

Adel memainkan bahu tak acuh.

"Gue sama Radit satu SMP," aku Adel yang sukses membuat bola mata Adel membulat sempurna. "Gue juga kaget sih waktu dia bilang gitu, gue nggak merhatiin soalnya. Inget hari pertama waktu lu ngajak gue pulang bareng dulu?"

Mata Adel sedikit menyipit sambil menggeleng pelan.

"Itu gue lagi nungguin dia nambal ban motornya."

"Jadi selama---"

"Gue belum selesai," potongnya membuat Adel kembali bungkam. "Kita cuma temenan aja. Pertama kali lu bilang suka dia, tadinya gue mau comblangin kalian. Tapi gue baru tau kalau dia udah punya pacar. Mulai dari situ gue juga jaga jarak sama dia. Gimanapun juga gue mesti jaga perasaan ceweknya dong. Dari situ kita udah cuek aja, kayak nggak kenal."

"Awal kuliah dulu dia mulai deketin gue lagi. Tapi gue tetep jaga jarak. Nggak lama dia nembak, gue tolak."

"Dua kali," tandas Adel tak sabar.

"Itu yang pertama. Yang kedua, berapa bulan lalu. Sebelum dia candain lu ngajak pacaran itu."

"Candaannya nggak lucu, sumpah."

"Nggak lucu karena lu baper," kekeh Rahma geli. "Katanya dia kaget juga sih sama respon lu. Ngerasa udah PHP-in anak orang, katanya. Untung aja Kak Kai bisa jadi penengah walau nggak diminta. The best emang dia."

Adel mencibir.

"Kejadian bokap gue kemarin jadi kayak titik balik gitu. Dia banyak bantu gue buat kumpulin bukti-bukti segala tetek bengeknya, yang gue juga nggak begitu ngerti , bareng sama Kak Kai sama Vhero. Ya mungkin karena itu kali ya gue jadi gimana gitu sama dia."

"Kenapa lu nggak ngomong sama gue?"

"Terus bikin persahabatan kita rusak? Gue nggak seegois itu, Del."

"Menurut lu gue egois?"

Rahma menggigit bibirnya. Mencoba menilai dari sisi subjektif. "Ya," jawab  gadis itu akhirnya.

"Ottohke? Ottokajyeo?" tanya Adel lemah, menirukan ucapan tokoh drama Korea yang sering ditontonnya.

"Temui Ninda dan jelasin sejelas-jelasnya. Gue yakin dia bakal ngerti kok."

Adel menggigiti sedotan esnya. Sejak pertikaian mereka di KFC, dirinya belum pernah ketemu langsung dengan Ninda. Ada rasa ragu tiap kali ingin menghampiri sahabatnya itu baik di area kampus ataupun menghampiri ke rumah. Terlebih dengan kehadiran Kaisar yang sudah pasti akan membuat mereka semakin canggung. Juga nasihat lelaki itu yang memintanya untuk tidak gegabah dalam bertindak.

"Kita ke rumah Ninda yuk sore ini," ajak Rahma menengahi.

"Hp gue?"

"Pulang dari rumah Ninda baru kita ke Royal. Oke?"

Mengangguk kecil Adel mengalihkan pandang pada meja tengah kantin. Menatap sinis pada Kaisar yang seperti tak henti mengawasinya sambil berdesis.

"Kalau gue jadi Berliana, udah lama gue racun tuh cowok brengsek! Ada ceweknya di samping, masih aja tuh mata jelalatan!"

"Jangan lupa, tuh cowok brengsek punya tempat di hati lu," seloroh Rahma membuat Adel kembali berdecih.

"Betapa sialnya gue."

  

*****

Sesuai perbincangan di kantin, setelah seluruh jam kuliah hari itu selesai Adel dan Rahma mengunjungi Ninda.

Tanpa Kaisar.

Terima kasih pada Berliana yang tiba-tiba menelepon lelaki itu sambil menangis dan meminta maaf tepat saat mereka sedang beradu argumen mengenai tanggung jawab sebagai supir plus bodyguard di areal parkir.

"Mending lu urus aja cewek lu. Lagi stres banget kayaknya dia," bujuk Adel membuat Kaisar mulai bimbang.

"Adel aman kok sama gue, Kak," tambah Rahma meyakini.

Alhasil sebuah jalan tengah diambil, Kaisar hanya akan mengantar Adel dan Rahma ke rumah Ninda lalu singgah ke rumah Berliana yang hanya berbeda blok dari tujuan mereka sambil menunggu kedua sahabat itu menyelesaikan urusannya.

"Hubungi saya kalau sudah mau pulang."

"Siap, Pak Bos!"

"Jangan gegabah!"

Adel membentuk tanda 'ok' dengan jemari kanannya, menggigit ujung bibirnya seraya mengedipkan sebelah mata. Lambaian bahagianya mengiringi kepergian Kaisar, sedang Rahma di sampingnya hanya tersenyum geli sambil menggeleng pelan.

"I'm free!" pekik Adel puas. "Udah ini kita langsung ke Royal ya. Ajak Ninda juga. Itung-itung sebagai permintaan maaf gue, gimana?"

"Oke."

Keduanya ber-tos riang sebelum memasuki pekarangan rumah Ninda yang terlihat lebih sepi dari biasanya. Sambil mengamati sekitar, Rahma mengetuk pintu. Namun hingga beberapa menit tak ada satupun sahutan.

"Tidur kali dia."

"Gue cek ke samping deh."

Adel mengambil alih bagian pintu sementara Rahma menuju sisi kanan rumah yang merupakan jendela kamar Ninda. Tak perlu menunggu lama, pintu di hadapannya terbuka. Menampilkan sosok Ninda yang cukup berantakan dan pucat tanpa polesan make up.

"Hai, Nda, gue ganggu?"

"Masuk."

Baru saja ingin melangkahkan kaki, seseorang memukul punggungnya cukup kuat dari belakang. Hanya pekikan samar yang dapat ditangkap Adel sebelum seluruh pandangannya menggelap.

*****


 

Menjelang ending...

Yeeaaayyyy!!!!!!!!

Bangka, 30.12.19
Dwi Marliza

Remember Me (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang