DUA PULUH TIGA

2.6K 306 5
                                    


Selama dua hari terakhir, Adel mengurung diri di kamar, sengaja memfokuskan diri pada tekadnya menemukan sang pelaku pembakaran. Amarahnya membludak tiap kali teringat bayangan api melalap habis mobilnya. Mobil yang merupakan hadiah terakhir pemberian Opa sebelum dipanggil sang Khalik.

Entah sudah berapa kali Adel membuka berkas lama yang berhasil dikumpulkannya mengenai kebakaran yang terjadi di Panti Asuhan Mutiara Harapan. Dirinya yakin pelaku pembakaran mobilnya terkait dengan tragedi belasan tahun silam. Namun hingga sampai saat ini tak ada sedikitpun petunjuk yang didapat kecuali rasa sakit yang mendera kepala karena memaksakan otaknya bekerja keras mengingat peristiwa itu. 

Suara ketukan pintu membuat Adel sedikit kelabakan merapikan berkas-berkasnya yang kemudian disembunyikan di bawah selimut. Dirapikan sedikit kuncir rambutnya agar terlihat lebih segar sebelum membuka pintu kamar.

"Lu ke mana aja sih, Del? Ditelepon sibuk melulu nomor lu."

Semprotan Rahma disambut Adel dengan cengiran. Wajar saja jika sahabatnya itu marah, pasca aksinya di ruang keamanan Adel langsung meninggalkan kampus menumpangi taksi konvensional yang lewat tanpa mengabari siapapun. Ponselnya saja sudah tak tahu lagi di mana keberadaannya.

"Hp gue ilang."

"Lu bisa kasih tau gue, Del. Datengin rumah gue atau telepon rumah, paling banter. Oma nggak bakalan ngomel kok."

Lagi, Adel menunjukkan deretan gigi putihnya. Langkahnya yang kembali menuju ranjang tertahan oleh Rahma yang mendorongnya ke kamar mandi.

"Buruan siap-siap. Hari ini kita ketemuan sama Maudy, kalau lu lupa," omelnya lagi.

"Ninda udah ada kabar?" tanya Adel setengah berteriak dari kamar mandi.

"Dia langsung nunggu di tempat."

Tak ingin membuat Rahma menunggu, Adel hanya membasuh badan ala kadarnya. Yang terpenting giginya sudah disikat dan wajahnya sudah bebas dari kekucelan.

Sekeluarnya dari kamar mandi, rupanya Rahma sudah tak ada di kamar. Tentu itu dimanfaatkan oleh Adel untuk secepatnya mempersiapkan diri sebelum suara Oma menginterupsi karena membuat kawannya lama menunggu.

Hanya saja Adel merasa sedikit kecewa karena ternyata tak hanya Rahma yang ada di ruang tamu rumahnya, juga Radit dan Kaisar.
Tak masalah jika Radit. Mungkin sebagai pasangan baru cowok itu tak ingin jauh dari pujaannya. Tapi Kaisar?

Untuk apa lelaki itu ada di rumahnya? Apa kurang tegas penolakannya tempo hari? Lagi pula bukankah lelaki itu sudah lebih dulu menolaknya? Lalu apa lagi sekarang?

"Sori, Kak Kai maksa ikut," bisik Rahma seolah tahu pikiran Adel.

"Janjian di mana sih?" tanya Adel setelah mereka meninggalkan rumah.

"Di KFC. Maudy mau traktir makan katanya."

"Ramayana?"

"He'eh."

"Nanti aku tunggu di alun-alun aja ya, Yang," ujar Radit yang direspon Adel dengan dengkusan.

"Sok romantis!"

"Iri aja lu, Markonah."

"Radit."

"Sori ya, nggak ada kata iri dalam kamus gue."

"Alah, ngeles mulu kayak bajay."

"Radit."

"Makanya jangan ketinggian gengsi, disambar orang baru deh nyesel."

"Radit!"

"Aku cuma ngomong---"

"Nggak usah dipertegas! Temen kamu aja yang nggak setia! Ngomong suka, cinta mati, taunya apa?!"

Remember Me (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang