SEMBILAN BELAS

3K 336 12
                                    

Niatan Adel untuk membombardir Radit dengan berbagai pertanyaan pada keesokan harinya harus tertunda. Matanya membesar mendapati sekelompok orang sedang bersenda gurau di ruang tamu setelah Rahma lebih dulu meninggalkannya yang sedang mandi. Termasuk Ninda yang kemarin pamit ke rumah alm. Opa-nya.

"Kok kamu belum siap?"

Adel menoleh pada Oma yang baru saja melintasinya sambil membawa rantang makanan.

"Mau ke mana emang?"

"Kak Kaisar ngajak mantai," seru Ninda seraya beranjak dari duduknya, menghampiri Adel yang salah tingkah karena hampir setiap mata kini menatapnya.

"Ikut ya, Del."

Senyuman Rahma setelah hampir semalaman menangis membuat Adel ikut menarik ujung bibirnya. Walau belum 100% yakin, paling tidak Rahmanya kini sudah terlihat baik-baik saja. Mungkin ajakan senior songong itu juga bermaksud untuk menghibur sahabatnya.

"Gue bantu lu beberes."

Tanpa menunggu persetujuan Adel, Ninda menarik gadis itu kembali ke kamar. Mengoceh panjang lebar tentang hatinya yang sangat bahagia dengan rencana liburan bersama dadakan itu sambil menyusun barang-barang yang sekiranya akan dibawa Adel ke pantai.

Sayangnya kebahagiaan Ninda tak berlangsung lama. Senyumnya hilang bersamaan dengan kemunculan Berliana yang sempat dijemput Kaisar sebelum mereka benar-benar menuju pantai. Bahkan Ninda memilih duduk di bagian belakang yang sebelumnya ditolak saat Adel menawari tempat.

"Monyetnya ngikut."

Adel yang mengerti maksud bisikan Ninda menggigit bibirnya agar tak menyemburkan tawa.

Berbagai topik pembicaraan menjadi pengisi perjalanan yang ditempuh hampir dua jam itu. Sesekali mereka bersenandung mengikuti lagu yang sedang berputar di audio. Kecuali Adel yang asik dengan dunianya sendiri, melanjutkan ketikan ceritanya di catatan ponsel. Juga Ninda yang sepertinya tertidur dengan earphone menyumbat telinganya.

Walau bukan musim liburan, kawasan pantai Anyer tak pernah hilang pesonanya. Semenjak memasuki pasar Anyer, kemacetan mulai menghambat laju mobil. Beberapa motor yang sepertinya sedang melakukan konvoi tak jarang menyerobot antrian panjang itu. Pantai Matahari yang menjadi tujuan awal dialihkan ke Pantai Sambolo yang lebih dekat.

"Yakin masih ada saung kosong?" tanya Vhero ragu melihat banyaknya pengunjung yang telah menempatkan deretan saung sewaan.

"Ada."

Sambil membawa ransel dan bekal dari Oma, Adel mengekori langkah rombongan. Sesekali senyumnya tertahan sementara otaknya mulai merekam scene demi scene yang kiranya dapat ditambahkan dalam tulisannya. Hingga matanya membulat sempurna saat menangkap dua orang yang sangat dikenali sedang asik berbincang di salah satu saung, tak jauh dari tempat mereka berhenti. Dirga dan Zeze.

Cepat-cepat Adel menarik lengan Kaisar yang terkejut dengan tindakannya. "Ke sana aja yuk, Kak. Ada yang kosong."

Tanpa peduli raut heran yang tercetak jelas di wajah tiap orang, Adel membawa Kaisar menjauh.

"Kamu mau bawa saya ke mana?" tanya Kaisar bingung karena mereka sudah cukup jauh.

"Kita pulang aja ya. Atau cari pantai lain. Kan masih banyak tuh---"

"Macet, Kay. Lagian mereka juga udah pada capek di mobil. Kenapa? Kamu nggak suka di sini?"

"Bukannya gitu...."

"Terus?"

Tak mungkin Adel mengatakan di sana ada adiknya yang sedang berpacaran dengan selingkuhan lelaki itu kan?

"Kay?"

"Nggak usah di sini ya. Please."

Dering ponsel Kaisar menengahi pembicaraan. Lelaki itu hanya membaca id caller di layarnya tanpa berniat menjawab panggilan itu.

"Mereka udah nunggu."

Adel berdecak pelan. Percuma saja dia bersikap manis jika senior songongnya itu tak mengubah keputusan. Pasrah, Adel membiarkan Kaisar membawanya kembali ke rombongan. Sambil memejamkan mata Adel berdoa dalam hati agar tak terjadi keributan akibat pertemuan Kaisar dengan salah satu pacarnya. Bagaimanapun juga yang menjadi saingan lelaki itu adalah adiknya.

Astaga!!

Walau sudah semakin dekat, Adel masih berusaha mencegah pertemuan itu. Terlebih hanya ada dua remaja itu di saung, sementara teman-teman serombongannya tak terlihat.

"Kalian---"

"Kak, jangan bikin keributan di sini. Malu."

Adel menarik lengan Kaisar sebelum lelaki itu menyelesaikan kalimat semburannya. Lewat lirikan mata dia memberikan isyarat pada dua remaja itu agar pergi yang sayangnya justru diabaikan. Sementara Kaisar menatapnya heran.

"Kak, please," melas Adel hampir menyerah.

"Lu kenapa sih, Kak?" tanya Dirga geli. Berdecak kesal Adel kini berbalik menatap adiknya dengan wajah garang dan tangan bertolak pinggang. Bisa-bisanya dia terlihat santai di saat terdesak seperti itu.

"Lu ngapain sih jalan sama cewek orang?! Nggak ada cemmmpphh!"

"Ck, berisik, Kak. Malu diliatin orang," sahut Dirga setelah membekap Adel yang masih berusaha bersuara.

"Mmppphhh."

"Diem dulu, baru gue lepasin!"

Adel mengangguk cepat. Mulutnya yang kembali siap mengomel tertahan mendengar ucapan Kaisar.

"Dia Cici. Adik saya."

"Adik?" Mata Adel bergantian memandang Kaisar dan Zeze, mencari kemiripan yang sama sekali tak terlihat. "Adik ketemu gede, maksudnya?"

"Anak yang lahir dari rahim ibu angkat saya."

Adel mengatup bibirnya sebelum tersenyum canggung pada Zeze. "Kita udah kenal kok. Tapi setau gue namanya Zeze, bukan Cici. Ya kan, Ze?"

"Hm. Aku pernah suruh Kak Adel ke sekolah waktu---"

"She's my Kay."

Ucapan Kaisar membuat wajah-wajah di depannya mematung.

"Adelia Kayra Brata."

Darah Adel berdesir mendengar suara Kaisar melembut menyebutkan nama lengkapnya.

"My Kay."

Kini bukan hanya darahnya yang berdesir. Jantungnya mendadak berdegup tak beraturan dan lebih cepat, membuatnya hampir meledak di tempat.


****


Bangka, 03.10.19
Dwi Marliza

Remember Me (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang