DUA PULUH TUJUH

2.6K 309 2
                                    


Udara lembab dan kayu lapuk menjadi aroma pertama yang  tercium oleh hidung Adel saat kesadarannya kembali. Kepalanya terasa pusing luar biasa, membuat matanya berat. Seluruh tubuhnya pun terasa kaku dan pegal untuk sekadar digerakkan. Seolah terikat pada....

Seakan baru tersadar, Adel membuka matanya lebar-lebar dan terkejut mendapati dirinya dililit oleh seutas tali di sebuah bangku di tengah ruangan asing yang sepertinya sudah sangat lama tak berpenghuni.

"Sudah bangun?"

Adel berusaha mengenali sosok yang berdiri di kegelapan, tapi tak berhasil. Hanya sebuah lampu petromak tua yang digunakan oleh siapapun-orang-itu sebagai sumber penerangan mereka.

"Ingat tempat ini?"

Mata Adel yang baru beradaptasi dengan cahaya petromak harus kembali berjuang saat cahaya terang benderang menyinari ruangan. Tetap tak ditemui orang lain di sana. Tak ingin buang waktu untuk mencari, Adel lebih tertarik pada ruangan tempat penyekapannya itu.

Ruangan itu kosong. Tak ada perkakas di sana kecuali satu set sofa tua yang sebagian besar sudah tertutup lumut dan rumput liar. Atapnya juga tak lagi utuh, langsung berhadapan dengan langit. Adel merasa sedang syuting sebuah variaty show bergenre horor saat ini.

Tunggu!

Keadaannya saat ini lebih horor dari kilasan-kilasan acara itu. Dirinya terikat dalam ruangan kosong di sebuah tempat yang sangat asing. Seorang diri pula.

"Sudah puas melihat-lihat?"

Suara tanpa wujud yang terdengar semakin membuat Adel bergidik ngeri. Semoga saja lawannya kali ini bukan makhluk jejadian. Sesosok wanita yang keluar dari balik pilar di depan Adel membuatnya menghela napas lega, bersyukur satu doanya terkabul. Senyum lega Adel terukir kala mengenali sosok itu sebagai Maudy, salah satu sahabatnya.

"Mau, buruan buka ikatan gue. Kita harus pergi sekarang. Di sini bahaya!" Adel berbisik sambil mengawasi sekitar.

"Bahaya? Gue nggak liat siapapun di sini, kecuali kita," kekehnya geli.

"Jangan bercanda, Mau!"

"Jangan bentak gue!!"

Adel tertegun mendengar bentakan Maudy yang menggema. Diteguknya saliva saat gadis itu mulai mendekat. Tak terlihat binar sendu yang biasa terpancar di mata Maudy, kecuali aura kelam yang terasa menyelimuti tubuh itu. Napas Adel tersengal ketika lampu kembali padam dan cahaya petromak yang tak seberapa mulai berpendar.

"Maudy?"

"Kenapa? Takut? Butuh gue panggilin bodyguard nggak guna lu itu? Atau mau ditemenin sahabat-sahabat lu yang lain? Iya?!"

Adel bergeming. Mencoba mengingat permasalahan yang pernah terjadi antara mereka. Barangkali ada.

Tidak ada.

Mereka tak pernah mempunyai konflik besar yang dapat memicu dendam. Sebesar-besarnya masalah yang mereka hadapi, selalu ada kata damai dan tak lebih dari satu hari. Selebihnya tidak ada.

"Mau, gue minta maaf kalau---"

PLAK!!

"Maaf lu sama sekali nggak guna!"

Lagi, Adel menelan saliva. Pasrah pada airmata yang membasahi pipinya. Mencoba meredam rasa panas akibat tamparan keras.

"Lu janji nggak main fisik, Dy!"

"Ninda?"

Seseorang yang kembali keluar dari kegelapan kembali membuat Adel tercengang. Tak menyangka tebakannya benar.

Remember Me (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang