"Maudy bilang, dia mau balik ke Serang lho, Del."Adel menaikkan sebelah alis, menyadari sahabatnya tengah mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.
"Gue penasaran gimana kabarnya sekarang. Secara udah lama banget kita lost contact. Lu kenapa sih ngeliat guenya gitu amat?"
"Menurut lu?"
Rahma mengendikkan bahu. Terlihat tak ingin menjawab.
"Lu nggak tau atau pura-pura nggak tau?"
Gadis itu mengalihkan pandang seraya menyeruput teh hangatnya. Lebih ingin menikmati sepinya suasana kantin kampus daripada harus merasa terintimidasi oleh tatapan Adel.
"Jadi, udah berapa lama kalian jadian?" tembak Adel langsung yang membuat Rahma tersedak.
"Gue nggak jadian sama dia, Del."
"Oh ya?! Terus kenapa lu nggak bilang kalau dia 'nembak' lu?!" tantang Adel, kembali pada pertanyaan pertamanya.
"Lu tau gimana kagetnya gue waktu dengar itu? Lu sahabat gue, Ma. Apapun gue ceritain sama lu. Di saat lu tau gimana gilanya gue muja Radit, lu malah nggak kasih tau apa-apa sama gue! Lu tega banget nusuk gue dari dekat. Temen makan---"
"Oke. Gue ngaku salah nggak ngomong tentang ini sama lu. Tapi gue berani jamin kalau gue nggak khianati lu. Nggak pernah sedikitpun terlintas di otak gue buat nusuk, atau apapun istilah lu itu. Gue sama Radit nggak ada hubungan apa-apa kecuali teman, Del."
"Alah, alasan lu!"
"Demi Allah, Adel!"
"Tapi lu suka kan sama dia?!"
"Nggak!"
"Bohong!" Adel tak peduli pada meja-meja kantin yang mulai terisi dengan tatapan penasaran pada mereka. "Lu kira gue buta, sampai nggak bisa liat mata lu berbinar gitu tiap ada dia?! Muka lu merah tiap deketan sama dia! Lu kira---"
"Oke... Oke! Gue emang suka sama dia! Gue suka dia merhatiin gue! Gue suka dia di deket gue! Gue suka dia!" bisik Rahma lirih, menutupi suaranya yang bergetar karena menahan isak. "Gue tau rasanya sakit dikhianati, Del. Karena itu gue lebih milih nutupin semuanya. Gue nggak mau lu rasa apa yang pernah gue rasa."
Cukup kuat Adel menggigit bibir bawahnya, menahan agar mulutnya tak terbuka lebar mendengar pengakuan itu. Diam-diam Adel memutuskan sambungan telepon yang sejak tadi terhubung pada seseorang yang diyakininya kini tengah berbahagia. Mengusap pelan kepala Rahma yang tertunduk menangis.
"Ada yang pernah bilang kalau pengakuan kita bisa sangat berarti untuk orang lain. Jadi gue juga mau ngaku sesuatu."
Rahma mengangkat wajah sambil mengusap air matanya. Mencoba memfokuskan pandangan yang buram.
"Gue suka dia," bisik Adel yang sukses membuat Rahma melongok. "Walau gue masih belum yakin itu sama kayak yang gue rasain ke Kak Radit atau karena gue kebanyakan khayalin dia sebagai tokoh cerita gue."
Adel kembali menyeruput tehnya.
"Tolong rahasiakan ini dari Ninda. Sama kayak lu, gue lebih milih nutupin ini daripada nyakitin sahabat gue."
Mata Adel kembali berkaca. Cepat-cepat diusapnya butiran cair itu sebelum kembali membuat aliran baru di pipinya.
"Tenang aja. Rahasia lu aman sama gue."
Adel mengangguk. Berdiri dari duduknya saat melihat seorang pemuda lari ke arah mereka dengan sedikit membuat kerusuhan karena saking terburu-buru.
"Well, tugas gue udah selesai. Tinggal lu beresin sisanya. By the way, lu utang cerita lengkapnya ke gue."
"Lu juga," kekeh Rahma.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remember Me (Completed)
عاطفية"Gimana kalo kita pacaran?" Sekitarnya seakan memudar bagi Adel. Hanya ada Radit dengan tatapan tak terbaca di hadapannya. Ah, jangan lupakan kupu-kupu yang kini sedang beterbangan di perutnya, menyebarkan sensasi geli yang membuatnya ingin terus te...