♤ 1 1 || warm ♤

297 49 3
                                    


•° YUK VOTE DULU °•
Selamat membaca

◇◇◇◇◇

Entah sudah kue madu keberapa yang sedang dikunyahnya sekarang ini, ia tak peduli. Ia juga tak peduli pada ledekan yang ia terima dari orang menyebalkan di hadapannya, siapa lagi kalau bukan Park Jimin pelakunya?

Sekarang mereka berada di rumah milik Jimin. Setelah Seulgi menaruh kopernya di rumah, ibunya langsung mengajaknya keluar lagi untuk ke rumah sahabat miliknya itu.

"Nara dan aku sudah menyiapkan makanan kesukaan kalian dan kami sepakat untuk menaruhnya di rumah miliknya." Jelasnya semangat menarik tanganku. Yup benar, Nara adalah nama ibu Jimin.

"Seulgi-ah, bertemu lagi." Sambut bibi Nara menarikku dalam pelukan hangatnya membuatku tersenyum kecil. Melihat kesamping, mataku bertemu mata Jimin yang berbinar, ia sedang dengan semangat mengunyah kepiting di tangannya.

"Duduklah, kau pasti lapar belum makan siang!" Ibuku mendorongku pelan mengarahkanku ke bangku di samping Jimin.

"Jimin, potongkan beberapa kepiting untuknya ya?" Kata bibi Nara singkat sambil memulai kegiatan memotong bersama ibuku yang sibuk mengaduk adonan. "Ne."

Jimin hanya menatapku malas. "Kau bahkan tetap tidak bisa memotong kepiting sendiri sampai sekarang." Katanya sambil memotong dan menarik daging-daging kepiting dari cangkangnya untukku. "Benar-benar merepotkan."

"Untunglah banyak makanan disini, jadi aku punya banyak bahan untuk menyumpal mulutmu." Kataku sarkas sambil tersenyum dan mengunyah daging kepiting yang ia sisihkan untukku membuat Jimin terbelakak. Tapi saat ia mau menjawab, ia dipotong oleh ibu milik Jimin.

"Kalian berdua ini masih saja seperti dulu." Katanya sambil menggeleng pelan kepalanya tak percaya.

"Mereka memang takkan pernah berubah kan?" Sambung ibuku menatap lurus ke arah bibi Nara sambil tertawa kecil.

"Ibu!" Kataku dan Jimin bersamaan.

◇◇◇◇◇

"Hey, ayo." Katanya menarikku yang masih setengah sadar semangat keluar dari rumah. "Keluarkan mobilmu, cepat!" Perintahnya sangat semangat.

"Hey! Ayo! Sebentar lagi matahari Busan terbit!" Katanya masih menarik-narik lenganku yang sedang menarik penutup mobil kecil itu kasar di garasi.

"Aku ini baru bangun. Tolong hentikan rengekanmu itu." Kataku menjitak kepala si bodoh itu pelan membuat dirinya juga berdengus kesal. Oh yaampun, dia dan sifat mendorongnya ini.

Karena sekarang aku sudah kuliah, aku tidak pergi diam-diam seperti dulu. Aku sudah meminta izin pada ibuku untuk membawa mobil selarut ini dan tentu saja diperbolehkan karena Seulgi ikut. Entah siapa yang sebenarnya lebih ia sayang, aku atau Seulgi, tak ada yang tau. Semua orang tau, ibuku lebih memanjakan dan memperhatikan Seulgi dibanding aku, kadang aku terlihat miris.

Seulgi ingin sekali melihat matahari terbit di tempat rahasia milik kami. Tempat itu terletak di pinggiran kota, lapangan luas yang penuh dengan alang-alang. Cukup banyak orang yang berkemah disini. Dulu hampir tiap malam kami menyelinap dari rumah diam-diam dan kesini untuk melihat bintang bahkan ikut berkemah, konyol bukan?

Karena dulu aku belum bisa menyetir, aku membonceng Seulgi naik sepeda sampai pada tempat ini. Kalau dipikir-pikir hal itu sangat gila, aku bisa dilaporkan atas tuduhan penculikan bukan?

NEVER EVER!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang