Bab 34

1.6K 112 0
                                    

Rafael tersenyum menatap buket mawar yang berada di genggamannya.

Hari ini ia berencana untuk melamar Abigail, tidak peduli apakah Paul Vessalius mengijinkan atau tidak, karena mau tak mau seharusnya pria tua itu mengijinkannya karena ia telah terikat perjanjian dengan ayah Rafael.

Sebelum keluar dari kamarnya, ia melirik sekali lagi penampilannya di cermin.

Sempurna.

Rafael lalu tersenyum kecil sebelum akhirnya keluar dari sana, hingga tiba-tiba ponselnya berdering kencang.

"Datanglah ke tempatku sekarang juga bila tidak ingin gadismu terluka."

Seketika, Rafael membulatkan matamya.

Buket yang ada di genggamannya pun terjatuh, dan tanpa memedulikan apa pun, ia segera berlari keluar.

Sial.

●●●

"Siapkan semuanya, cepat!" Kata Rafael seraya berlari melewati anak buahnya.

Ia berlari untuk memasuki mobilnya dengan tergesa. Ia tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa Abigail. Tidak. Ia belum menjelaskan apa pun pada gadis itu. Ia belum mengatakan lamarannya dengan layak. Ia belum melakukan hal-hal yang diinginkannya untuk dilakukan bersama gadis itu. Belum.

Tidak. Bertahanlah, Ai. Aku pasti akan menyelamatkanmu. Tunggu aku.

●●●

Annalesse tersenyum menatap toko kue dihadapannya.

Dari luar, ia bisa menatap kue kue display yang sengaja dipajang didekat jendela agar para pejalan kaki bisa melihatnya.

Benar, tak lama lagi ulang tahunnya. Sekaligus ulang tahun Abigail.

Annalesse tersenyum kecut, entah mengapa, momen ulang tahunnya menjadi salah satu momen paling menyenangkan sekaligus paling menyedihkan dalam hidupnya.

Selama ini, ia senang sekali karena tiap hari ulang tahunnya keluarganya pasti akan makan bersama dan merayakannya dengan berfoto ria, menyantap makan malam yang sangat banyak serta mereka akan menonton film bersama dan di akhir malam, ia dan Abigail diijinkan untuk membuka kado ulang tahun mereka.

Nah, disinilah kesedihannya bermula, karena Annalesse tidak memiliki banyak teman, maka tentu saja hanya sedikit orang yang memberinya hadiah.

Sedangkan kakaknya selalu menerima banyak bingkisan dari teman-temannya, tak terkecuali dari Javier.

Tiap kali melihat kakaknya yang selalu terlihat senang ketika membuka hadiah dari pria itu, mau tak mau Annalesse hanya bisa menatapnya dengan pandangan iri.

Tentu saja itu sebelum ia mengenal pria itu.

Sejak mereka bertemu, Javier mulai memberikannya hadiah hadiah yang tak pernah ia bayangkan, tapi itu tetap saja tidak mengibati rasa sakit di hatinya.

Karena ia tahu, pria itu hanyalah sekadar memberinya hadiah, tidak ada arti lebih dari hadiah yang diberikannya pada Annalesse. Berbeda sekali dengan apa yang diberikannya pada Abigail.

Pada kakaknya itu, ia memberikan segalanya, termasuk cintanya, yang sangat diinginkan Annalesse.

Annalesse berusaha tegar, ia menghapus air mata yang hampir menetes di sudut matanya.

Tidak. Aku harus tegar.

Ia lalu kembali berjalan melewati toko kue itu, dan ketika di perempatan, ia kembali melihat suatu hal yang membuat dadanya terasa ditindih oleh beban yang amat berat.

Jangan menangis. Jangan menangis.

Annalesse terus mengamati Javier yang keluar dari toko perhiasan sambil membawa kotak beluduru kecil di tangannya dan berjalan memasuki mobil.

Merasa pening, akhirnya Annalesse memutuskan untuk tidak bisa melihat hal itu lebih lama lagi.

Ia lalu berlari menuju arah sebaliknya, kembali melewati toko kue tadi, melewati para pejalan yang melihatnya dengan heran.

Ia terus berlari hingga tanpa sadar ia ternyata berlari menuju jembatan merah besar yang berada tepat diatas sungai yang airnya pasti sedingin es mengingat sebentar lagi musim dingin akan tiba.

Annalesse terdiam selama beberapa saat ditempatmya sebelum melangkah dengan perlahan mendekati jembatan itu.

Annalesse memandang langit mendung yang mulai menitikkan tetes demi tetes air matanya ke bumi.

Untuk sesaat, ia tersenyum hangat.

Sepertinya langit juga sama bersedihnya denganku.

Ia hanya membiarkan saja tubuhnya diterpa oleh angin dan curah hujan yang kian deras mulai membasahi sekujur tubuhnya.

Ia tidak peduli dengan dirinya sendiri, ia sudah tidak peduli dengan apa pun lagi.

Annalesse terus berjalan ditengah guyuran hujan yang menimpanya. Ia tidak peduli bila akhirnya ia akan jatuh sakit, toh tidak akan ada yang memedulikannya. Saat ini saja ia sudah merasakannya. Rasa sakit itu berasal dari hatinya. Ia merasa membenci semuanya. Terutama benci pada dirinya sendiri.

Ia tahu bahwa kakaknya adalah orang yang baik. Ia tahu bahwa kakaknya kelak akan mendapatkan jodoh yang baik pula. Tapi, entah kenapa ia sekarang justru sangat iri pada kakaknya dan tanpa sadar mulai memupuk kebencian pada kakaknya itu. Ia tahu bahwa ini tidak boleh. Ia tahu bahwa semuanya salah. Tapi ia tidak bisa menghapus kebenciannya pada kakaknya. Dan karena hal itu, ia mulai membenci dirinya sendiri.

"Kenapa kau jadi seperti ini, Anna?" Javier memayungi Annalesse sambil menatapnya tajam.

Annalesse mendongak dan mendapati wajah tampan Javier sedang menatapnya.

Tanpa sadar dia tersenyum dan mengulurkan tangan untuk mengelus pipi lelaki itu.

"Kenapa kau ada disini?" Katanya dengan gigi yang bergemelatuk, tanda ia kedinginan.

Dulu, lelaki ini sudah seperti bintang yang tak dapat digapai olehnya bahkan hingga saat ini. Tak peduli apa mereka sedang berdekatan atau tidak. Annalesse merasa jarak mereka ada berjuta-juta mil.

Tanpa sadar air mata mengaliri pipi pucatnya itu.

Javier menatapnya dengan sedih dan memeluk gadis itu. Berusaha menenangkannya. "Tidak apa-apa, Anna. Semua akan baik-baik saja. Tidak apa. Aku akan menjagamu. Bukankah selama ini aku selalu ada untukmu?"

Annalesse mengangguk. Benar. Tak peduli setampan apa pun seorang Rafael Standford, akhirnya ia sadar bahwa cintanya hanya untuk Javier. Walau ia sudah berusaha melupakan dan menggantikan lelaki itu dengan laki-laki lain, jauh di dalam hatinya ia tahu, bahwa hanya Javier lah pria yang dicintainya.

"Maaf. Maafkan aku Javier. Sepertinya aku sangat mencintaimu."

Tbc.

Between Us (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang