16

153 10 1
                                    

Kepergian Piter membuat segalanya berubah. Keadaan rumah, orang tuaku, juga diriku sendiri. Kepergiannya membuatku kehilangan cahaya hidup. Mama dan papa sibuk mengalihkan perhatian mereka dengan pekerjaan. Sedangkan aku, harus terkurung di kamar karena kondisiku yang belum sembuh betul. Walau sebenarnya, aku lebih nyaman mengurung diri seperti ini. Menghabiskan waktu dengan melamun, memutar semua memori tentang aku dan Piter.

Aku lupa kapan terakhir mengobrol dengan papa dan mama. Mungkin sejak pemakaman Piter, atau sejak kami pulang dari rumah sakit. Kami bertiga seolah hidup sendiri-sendiri. Mereka sibuk mengalihkan kesedihannya, membuat aku merasa semakin sendirian.

Langkahku terhenti tepat di depan kafe, aku bisa melihat Theta dan Bima dari pintu kaca ini. Mereka pasti akan kaget melihatku kemari. Mas Adi sudah bilang jika aku harus sembuh betul sebelum memutuskan untuk kembali bekerja. Tapi rasanya, semakin lama ada di rumah, aku semakin tersiksa.

"Le, lo ngapain di sini?" Theta mendekat begitu aku masuk ke dalam kafe. Aroma kopi buatan Theta langsung menyambut kedatanganku yang membuat seisi kafe terkejut.

"Kamu kan harusnya istirahat di rumah, kok malah ke sini?" tanya Bima di belakang Theta.

Aku hanya tersenyum aku tau reaksi mereka akan seperti ini. Tapi aku tidak bisa menyangkal jika bertemu dengan mereka bisa membuatku terhibur. Buktinya baru beberapa menit saja, aku sudah sangat senang.

Theta membantuku duduk di kursi depan, membuat posisiku bisa nyaman duduk di sana. Bima membawakan minuman untuk kami, yang seharusnya tidak perlu ia lakukan.

"Le, gue minta maaf ya nggak ada di sana waktu lo butuhin gue.."

"Nggak papa, gue ngerti kok. Lagian liburan kalian emang udah direncanain jauh hari, kan."

Sejak malam itu Theta terus merasa bersalah. Ia terus mengatakan jika ia tak seharusnya pergi berlibur dan membiarkan aku melewati semua sendirian. Meskipun sudah berkali-kali ku bilang jika aku sama sekali tak masalah dengan hal itu.

"Sebenernya, gue sama Bima udah jadian kemaren waktu di Jogja." Hampir saja cangkir yang ku pegang jatuh seandainya tak dipegang oleh Bima.

"Serius lo? Astaga seneng banget dengernya.."

Tapi sayangnya aku tidak melihat kebahagiaan yang sama di wajah mereka.

"Udah lah, kalian nggak usah berlebihan gitu ngerasa bersalahnya. Ada atau nggak adanya kalian kemaren, Piter akan tetep meninggal kok." Kataku.

Theta menarikku ke dalam pelukannya, bersamaan dengan itu Bima menggenggam tanganku, seolah mengutarakan betapa menyesalnya mereka dengan apa yang terjadi padaku.

"Gue berharap kalian nggak ngerasain kehilangan sehebat yang gue rasain." Lanjutku.

Theta semakin erat memeluk tubuhku. Hampir saja aku menitihkan air mata jika tak ku tahan. Berada di sekitar mereka yang menyayangi kita adalah tempat paling nyaman untuk pulang.

"Udah, sana pulang. Kamu harus istirahat." Ucap Bima.

Mobil putih yang ku kenal adalah milik Rigel sudah terparkir di parkiran kafe. Tak lama sang pemilik keluar. Aku sama sekali tak memberitahunya tentang kedatanganku kemari. Bagaimana bisa?

"Aku telepon dia tadi di dalem, bilang suruh jemput kamu." Kata Bima yang menjawab pertanyaan yang tak sempat ku suarakan.

"Keluyuran aja nih anak," omel Rigel.

"Tolong ya, Gel.." kata Theta membantuku berdiri.

"Gue bisa kok." Kataku melepas tangan Theta. Untuk berjalan dan naik mobil saja aku masih bisa walaupun butuh energi lebih dari biasanya.

Ternyata, kamu.. | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang