"Will you be my forever?"
Waktu terasa berhenti saat kalimat yang diucapkan Rigel masuk dalam telingaku. Seluruh tubuhku kaku tak bisa bergerak, sekalipun itu bibirku. Denut jantung yang tadinya berdetak normal, kini semakin cepat. Benar-benar kalimat yang sama sekali tidak pernah aku pikirkan bisa terdengar begitu cepat.
Dikeluarkannya sebuah kotak cincin berwarna biru dan diperlihatkan sebuah cincin berwarna silver dengan beberapa permata kecil mengelilinginya. Indah sekali, sebuah cincin yang tak pernah terbayang bisa ku miliki.
"Aku nggak pernah seyakin ini sama wanita mana pun. Sejak sadar kalo aku sayang sama kamu, saat itu juga aku yakin kalo kamu adalah orang yang paling tepat buat aku..."
Kilauan matanya mulai terlihat penuh dengan kesungguhan, membuatku ikut larut dalam dirinya. Perlahan air mata yang sama sekali tidak aku harapkan menetes begitu saja.
"Kamu punya semua yang aku butuhin. Aku mau terus selamanya sama kamu. Aku mau kamu ikut kemana pun aku ada."
Suara Rigel mulai bergetar, wajahnya memerah, air matanya pun perlahan ikut turun bergabung dengan keringat dingin di wajahnya.
"Alea Hamidah Pratiwi, I ask you for one more time, will you?"
Biasanya aku melihat adegan ini hanya di tv atau film tapi sekarang benar-benar nyata ku alami. Rasanya benar-benar campir aduk. Segala perasaan yang pernah ada di hidupku seolah muncul bersamaan.
"Rigel...kamu serius?" tanyaku ragu.
"Kamu pernah bilang kalo aku adalah orang paling serius di dunia, kan?" Jawabnya.
Oh Tuhan, apa yang harus aku lakukan...
"Aku tau ini terlalu cepat mungkin buat kamu. Semua aku lakuin supaya kamu yakin aku nggak akan pergi. Setelah ini aku akan kerja, buat kamu, buat kita. Supaya aku makin siap dan pantas buat kamu." Kata Rigel.
Aku sama sekali nggak pernah ragu dengan apapun yang dilakukan Rigel. Bahkan aku sudah menghilangkan kekhawatir tentang kepergian Rigel.
"Kalo kamu yakin sama aku, nggak ada alasan aku buat ragu sama kamu."
Mata Rigel melebar, senyumnya pun ikut melebar walaupun dariradi ia sudsh tersenyum.
"Jadi?"
"I want to be your forever."
Sorakan seisi kafe terdengar begitu aku menyelesaikan kalimatku. Rigel memadangkan cincin cantik itu dijari manis lalu memelukku erat. Saat itu barulah aku sadar jika semua hal yang aku cari ada di sini, sudah ada dan selalu ada.
Tangisan Rigel membuatku semakin yakin jika kesungguhan itu ada. Seseorang yang aku cari selama ini memang ada. Seseorang yang tak pernah pergi, atau hanya datang untuk menggantikan. Ternyata selama ini ada di dekatku.
***
"Sayang.."
"Apa?"
Rigel mematikan mesin mobilnya setelah sampai di depan rumah. Dia tersenyum simpul menatapku. Aku tau ia akan memulai pembicaraan sebelum turun dari mobil, yang selalu kami lakukan sejak dulu. Bahkan sampai sekarang masih selalu kita lakuka. Kebiasaan aneh yang jika tidak dilakukan akan terasa sangat mengganjal.
"Will you be my forever?" tanya Rigel.
Aku tersenyum mendengarnya. Pertanyaan yang sudah aku jawab di depan banyak orang kembali diucapkan. Ku raih tangannya dan menggenggamnya hangat. Wajar jika Rigel masih ingin menanyakan hal itu, karena aku saja masih tidak percaya jika dia bertanya tentang keseriusan itu beberapa jam yang lalu.
"1000 yes, Rigel Praja Lesmana." Jawabku penuh keyakinan.
Rigel mencium keningku setelah itu, melihatnya sebahagia ini membuatku tak bisa menutupi rasa bahagiaku. Melihat senyuman lebarnya membuatku lupa jika aku pernah menjadi seseorang paling sakit di dunia. Melihatnya membuat aku yakin jika dunia ini memang diciptakan untuk kami.
"Sekarang kamu pulang, hati-hati." Kataku.
"Oke."
Setelah itu aku kel Rigel menurunkan kaca mobil supaya bisa menatapku sembari menjalankan mobilnya. Selalu menjadi momen yang berat berpisah dengan Rigel, walaupun hanya untuk pulang ke rumah. Memandangi mobil Rigel sampai hilang di tikungan depan menjadi satu-satunya objek menarik yang tak akan pernah aku leatkan setiap kali Rigel mengantarku. Barulah aku masuk setelah memastikan mobil Rigel tak terlihat lagi.
Rumah masih cukup terang saat aku masuk, dan benar saja papa sedang menonton televisi di ruang depan dengan sebuah cangkir yang sudah hilang asapnya. Belum terlalu malam untuk bersantai di sana, ku putuskan untuk mendekatinya saat itu.
"Hai pa.." sapaku.
"Hai, Lea. Kok baru pulang?" jawab Papa.
"Iya, barusan dari kafe. Ngobrol sampe lupa waktu." Kataku.
Papa mengangguk, tapi matanya tak melepaskanku begitu saja. Mama papa mengidentifikasi seluruh wajahku, mencari sesuatu yang dia temukan tapi tak segera ku ceritakan.
"Kenapa sih, pa?" tanya setelahnya.
"Tadi berangkat kayaknya nggak begitu semangat, tapi kenapa sekarang pulang ceria banget?" ucapnya.
Aku terkikik, rupanya kebahagiaan ini tidak bisa aku sembunyikan dari siapapun. Seri wajah ini akan membuat orang lain tau jika aku baru saja mendapat sesuatu yang indah hari ini.
"Ya pasti ceria dong, pa, kan Alea baru aja dilamar."
Mama datang sambil membawa nampan berisi secangkir kopi dan satu toples berisi kue ringan kesukaan papa. Pipiku panas sekali rasanya mendengar ucapan mama barusan, bagaimana bisa mama tau tentang hal ini.
"Kok mama tau?" tanyaku.
"Rigel udah bilang ke kita kemarin. Mama sama papa juga udah ngobrol sama orang tua Rigel tadi." Jelas Mama.
Benar-benar semua ini sudah direncanakan oleh Rigel tanpa sepengetahuanku. Dan rupanya dia sangat berhasil membuatku sangat terkejut seperti ini.
"Kamu harus siap-siap karena minggu depan harus berangkat ke Bogor." Kata Papa.
"Bogor? Jadi beneran aku ikut ke Bogor?" tanyaku.
"Mungkin Rigel lupa bilang, karena terlalu seneng tadi." Jawab Mama.
Aku jadi malu sendiri saat mengingat kejadian di kafe tadi. Sebenarnya aku tidak perlua lagi malu, karena ini yang aku butuhkan sebenarnya. Kejelasan.
"Mama dukung apapun yang bakal kamu lakuin setelah ini. Mama percaya kalo Rigel bisa jagain kamu dengan baik juga nanti di sana." Kata Mama lagi.
"Yang penting kamu harus jadi wanita yang kuat, jadi wanita yang bisa mendukung pasangan. Papa tau perjalanan kalian pasti masih sangat panjang, tapi dengan adanya ini, kamu harus bisa menjaga semuanya." Lanjut papa. Diraihnya jari yang terpasang cincin pemberian Rigel tadi, cincin yang sampai sekarang masih aku kagumi bentuknya.
"Ngomong-ngomong cincin, ini mama loh yang pilihin." Kata Mama sembari menyambar jemariku yang sedang dipegang oleh Papa.
"Ma, apaan sih kan masih papa lihat." Ucap Papa.
"Ya ampun, pa, mama kan juga pengen lihat." Sahut Mama.
Lucu sekali melihat mereka berdua yang kembali menjadi mama dan papa yang dulu sempat hilang. Sekilas ada perasaan sedih mengingat jika Piter sudah tidak ada di sini lagi bersama kami.
"Kalo ada Piter masih ada, kebahagiaan kita pasti sangat lengkap ya, ma, pa."
Mama dan papa langsung terdiam begitu mendengarnya. Aku tau jika jauh di dalam hati mereka juga pasti merasakan hal yang sama sepertiku.
"Nggak, Alea. Kebahagiaan sudah lengkap, karena Piter nggak pernah pergi. Dia selalu ada di sini. Meskipun kita nggak bisa lihat dia." Kata Mama.
Aku mengangguk setuju. Aku selalu berusaha merasakan keberadaan Piter setiap harinya, tak pernah seharipun aku tak mengingat tentangnya. Aku masih ingat semua hal yang Piter suka. Dan kini semua itu menjadi hal yang aku suka pula. Karena buatku aku hidup bersama dengannya, aku hidup berkat dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ternyata, kamu.. | ✓
Random"Lo pernah bilang ke gue untuk nggak ninggalin lo, terus lo pikir gue bakal ngijinin lo ninggalin gue gitu aja?" Aku terdiam. Bagaimana mungkin aku bisa lupa akan sesuatu yang selalu aku takutkan setiap harinya. "Gue pernah bilang, kalo lo adalah ba...