Album penuh debu yang sudah sekian lama ku sembunyikan akhirnya kembali menyentuh udara segar. Album ini penuh dengan fotoku dan Patra sejak SMA, aku sengaja mengumpulkan setiap gambarnya untuk bisa mengingat momen yang ada. Tak ada wajah muram atau sedih di sini, hanya tawa gembira dan haru yang ada.
"Rotinya nggak dimakan?"
Rigel masuk dan langsung duduk telat di depanku. Ku lirik sejenak roti yang tadi dibuatkan oleh Rigel, semalaman aku tidak makan apapun, tidak selera. Rigel sengaja menginap untuk menjagaku yang masih sangat terguncang karena kepergian Patra, ia takut jika aku melakukan hal macam-macam, ya g pastinya tidak akan aku lakukan.
"Gue selalu bilang sama Bumi kalo album ini udah hilang, gue selalu bilang kalo album ini udah nggak ada artinya lagi. Padahal kenyataannya cuma gue sembunyiin di bawah kasur." Kataku.
"Kalian beruntung pernah saling memiliki." Kata Patra.
Air mata kembali jatuh, entah yang keberapa kalinya. Rasanya sebanyak apapun air mata ini tak akan cukup mengganti semua kesalah pahaman yang pernah ada diantara aku dan Patra.
"Gue kira selama ini dia yang ninggalin gue, tapi ternyata gue yang ninggalin dia, Gel."
Rigel menarikku ke dalam pelukannya, ku eratkan tanganku, berharap guncangan yang ada sekarang dapat berkurang. Rasa bersalah dan menyesal berkecamuk, memaki diriku ke buruk apapun tak akan pernah mengembalikan keadaan.
"Kita berangkat sekarang yuk, Bumi bilang pemakamannya dimulai jam 10." Kata Rigel lagi.
Ku gelengkan kepala, sejak pagi aku tak berniat untuk berangkat. Tak akan sanggup aku melihat laki-laki yang dulu begitu menyayangiku harus dikubur dengan tanah.
"Lo aja yang ngewakilin gue, gue di sini aja." Jawabku.
Rigel melepas pelukannya, menatap mataku yang penuh dengan air mata.
"Lo harus berangkat, Le." Katanya.
"Kasih gue alasan paling logis, kenapa gue harus ke sana, selain untuk penghormatan terakhir."
Rigel terdiam, ia meraih tanganku, menggenggamnya begitu erat tapi tetap lembut. Tatapan matanya membuatku tak bisa lagi menahan air mata. Keteduhan matanya membuatku sulit untuk menyembunyikan apapun.
"Because he's still loving you, and always, Alea.."
***
Hanya tinggal Bumi yang duduk di samping nisan bertuliskan nama Patra, saat aku dan Rigel mendekati makam ini. Aku sudah datang sejak prosesi pemakaman berlangsung, tapi tak sampai hati melihat jasad Patra dikuburkan. Rigel bersedia mendampingiku di dalam mobil sampai peziarah yang kebanyakan memakai baju berwarna gelap itu mulai meninggalkan sekeliling makam ini.
"Bum.."
Bumi hanya melirik sedikit lalu mengangguk pelan. Aku tau saat ini hatinya pasti sangat hancur, satu-satunya sahabat yang pqling ia cintai haris menyatu dengan tanah dan tak akan bisa ia lihat lagi untuk selamanya.
"Yang gue takutin selama ini akhirnya kejadian, Le, mulai sekarang gue nggak akan lagi bisa ngeliat sahabat yang udah dari kwcil bareng sama gue." Katanya.
Hancur hatiku mendengarnya, aku bisa merasakan kesedihan itu. Aku bisa merasakan betapa dekatnya hubungan mereka, aku bisa melihat rasa cinta Bumi untuk Patra.
"Gue udah tau hari ini pasti akan dateng, tapi kenapa rasanya masih sehancur ini.." ucapnya lagi.
Ku duduk tepat di sampingnya, merangkul pundak lebarnya semampuku. Dari sini aku bisa melihat lelehan air mata yang ada di wajah sahabatku ini. Air mata yang sama sekali tak pernah ku lihat sebelumnya. Mata Bumi tak lepas dari nisan bertuliskan nama Patra, ada banyak rasa yang aku temui di sana, salah satunya amarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ternyata, kamu.. | ✓
Random"Lo pernah bilang ke gue untuk nggak ninggalin lo, terus lo pikir gue bakal ngijinin lo ninggalin gue gitu aja?" Aku terdiam. Bagaimana mungkin aku bisa lupa akan sesuatu yang selalu aku takutkan setiap harinya. "Gue pernah bilang, kalo lo adalah ba...