Part 2 The Beginning

186 11 0
                                    

Sinar matahari menembus celah tirai yang sedikit tersingkap, menusuk mataku yang sama sekali belum terpejam sejak kemarin malam.

Aku mengerjap, mengusir kantuk yang mulai muncul.

Kuberitahu sesuatu.

Aku takut memejamkan mataku saat kegelapan datang. Yeah, aku memang pengecut seperti itu.

Tapi, seandainya saja kau mengalami separuh dari mimpi buruk yang mendatangiku saat aku terlelap di malam hari, aku yakin kau akan memahami alasan mengapa aku menolak memejamkan mata.

Orang tuaku tidak tahu mengenai masalah tidurku dan aku juga tidak ingin melibatkan mereka.

Ini menjadi rahasia diantara kita.

Aku masih mengerjapkan mata ketika terdengar ketukan halus di pintu.

Kemudian suara Mum memanggil, "Logan? Kau sudah bangun?"

Dengan susah payah aku duduk, mengusap mataku dan menjawab, "Yeah, Mum."

"Baiklah, kami menunggumu."
Lalu langkahnya menjauh.

Aku beranjak menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Bayangan di cermin menatapku balik dan rasanya seperti aku tidak mengenali diriku sendiri.

Wajah yang menatapku itu kurus dengan bayangan hitam di bawah mata.

Sedangkan matanya—mataku... tampak seperti lubang hitam.

Mati.

Haunted.

Tidak ada emosi apapun yang tergambar di sana.

Padahal pepatah mengatakan bahwa kau bisa mengetahui emosi seseorang melalui matanya.

Omong kosong.

Setelah mencuci muka, aku segera turun untuk bergabung dengan orang tuaku tanpa menengok bayanganku kembali.

Aku benci melihat diriku sendiri.

*****

"Logan."

Dari nada yang digunakannya, aku tahu ada maksud tertentu di balik pembicaraan yang akan berlangsung ini.

Aku mendongak dari piringku. Dad berpura-pura membaca koran sedangkan Mum menatapku dengan khawatir.

Respon yang kuberikan spontan saja, "Aku baik-baik saja, Mum."

Dan itu adalah bullshit.

Mum tahu itu.

Dad juga tahu itu.

"Apa rencanamu hari ini?" tanya Mum.

Rencana? Memangnya aku perlu rencana? Untuk apa? Apa yang harus kulakukan?

Aku mengangkat bahu.

Mum menatap Dad sebentar, kemudian berbicara lagi, "Kenapa kau tidak mencoba keluar dan hang out dengan temanmu? Cuacanya menyenangkan hari ini."

"Aku tidak tertarik."

"Logan," mulai Dad, dia meletakkan koran yang pura-pura dibacanya dan menatapku sekarang, "Aku tahu ini berat bagimu, Nak. Aku mengerti kau masih berduka. Tapi ini sudah hampir tiga bulan sejak Hayley—"

Hentikan.

"—Dad, please. Tolong. Kumohon, hentikan. Bisakah kita tidak membicarakan-nya?"

Aku tidak tahan. Aku masih tidak bisa membicarakan hal itu.

"Logan, dengar..."

"Tidak." suaraku tersendat, gumpalan tangis mulai terbentuk di tenggorokanku.

Astaga, aku benar-benar pengecut.

Aku menelan gumpalan tangis itu dan berucap, "Aku tidak apa-apa. Tapi, tolong. Jangan membicarakan hal itu. Please."

"Ini sudah tiga bulan, Nak. Kau tidak bisa terus menerus mengurung dirimu dan tenggelam dalam kesedihan. Aku tahu itu berat, aku paham. Jangan begini, Logan. Kami menyayangimu."

Aku hanya diam.

Aku tahu sikapku selama tiga bulan terakhir ini benar-benar mengkhawatirkan.

Tapi aku tidak bisa mengontrolnya.


Aku tidak bisa menghentikan diriku sendiri untuk tidak bersikap konyol seperti itu.

Aku tahu orang tuaku menyayangiku.

Aku tahu mereka mengkhawatirkanku, terutama karena usaha mereka membawaku ke psikiater tidak membuahkan hasil apapun.

"Logue... apakah kau tidak ingin kembali menjalani hidupmu?" tanya Dad.

Tentu saja aku ingin.

Aku ingin melupakan segala kejadian itu.

Aku ingin terbebas dari rasa kehilangan dan rasa bersalah yang menggerogotiku.

Tapi aku harus apa?

Semua harapan seolah sudah jauh dari jangkauanku.

Aku bahkan tidak tahu lagi apa artinya bahagia.

Aku menatap wajah kedua orang tuaku. Menatap kekhawatiran dan kesedihan yang membayang di wajah mereka.

I'm so sorry.

"Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan."

Tangan Mum meraih tanganku, "Let us help you, Logan."

Mungkin memang seharusnya aku membiarkan mereka membantuku.

Aku menghembuskan nafas panjang dan memantapkan diri, "Okay."

Mum dan Dad tersenyum pada satu sama lain.

Dan dari sanalah semua dimulai.

Mereka mendaftarkanku untuk mengikuti group therapy.

*****


Don't forget to click the follow button! Komen ya bagaimana pendapat kalian:) See you in the next chapter.

ALLEGRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang