Part 3 The Therapy and The Girl

116 10 8
                                    

Aku tidak tahu apa yang kuharapkan saat memasuki ruang group therapy, tetapi yang jelas bukan ini.

Ruangan bundar dengan sofa mengelilingi meja dan dindingnya penuh dengan foto.

Dan orang-orang di dalamnya... tidak terlihat seperti memiliki kelainan mental apapun.

Tapi siapa yang tahu keadaan seseorang sebenarnya? Mungkin saja saat ini mereka terlihat normal, berbincang dengan riang, tertawa-

Lalu menangis tersedu-sedu atau hanya melamun dan berharap dirinya mati saja saat sendiri.

Pikiran semacam itu hanya akan membuatmu semakin depresi, Logan. Hentikan sekarang juga.

Keadaan ruangan yang ramai tiba-tiba menjadi senyap ketika seorang perempuan setengah baya berdiri di tengah ruangan sambil tersenyum.

"Selamat datang. Selamat datang untuk semuanya-"

Dan begitulah.

Perkenalan seperti biasa.
Namanya Miss George.

Kemudian dia menjelaskan mengenai bagaimana sistem group therapy ini dijalankan.

Aku hanya mendengarkan secara sambil lalu karena masih merasa overwhelmed dengan keramaian.

Jadi pada group therapy ini ada dua kelompok.

Yang pertama adalah kelompok newbie sepertiku, yang belum pernah bergabung sama sekali dengan group therapy.

Dan yang kedua adalah kelompok volunteer yang telah bergabung dengan group therapy ini selama beberapa bulan atau beberapa tahun.

Nantinya, satu orang newbie akan mendapatkan satu orang volunteer yang akan membantunya beradaptasi di group therapy ini.

Karena Miss George dan anggota volunteer memahami bahwa sharing pengalaman yang membuat seseorang menjadi depresi bukanlah hal mudah.

Aku mengamati wajah para volunteer.

Aku hanya berharap dipasangkan dengan orang yang bersabar menghadapiku karena aku menyadari, aku tidak mungkin bisa membuka diri mengenai permasalahanku pada pertemuan kedua, ketiga, keempat, ataupun kelima.

Aku bahkan tidak yakin apakah aku akan bisa tertolong dengan mengikuti group therapy ini.

Tapi yang jelas, aku ingin mencobanya.

Aku ingin lepas dari bayang-bayang rasa bersalah.

Everything is my fault.

Kemudian tiba-tiba saja Miss George sudah ada di depanku. Tangannya memegang sebuah kotak.

Diulurkannya kotak tersebut padaku sambil tersenyum, "Silahkan. Ambil satu nomor untuk volunteer yang mendampingimu."

Aku mengambil satu kertas yang terlipat dari dalam kotak, lalu bertanya, "Miss, jika seandainya aku tidak cocok dengan volunteer yang mendampingiku, bolehkah aku minta tukar?"

"Tentu saja. Tugas kami di sini adalah membantu meringankan beban kalian. Katakan saja jika memang kau ingin berganti pendamping."

"Terima kasih."

Aku mencoba tersenyum dan rasanya sulit sekali.

Aku yakin senyumanku terlihat terpaksa karena Miss George kemudian tersenyum lagi padaku dengan raut wajah mengasihani.

Dan aku sangat tidak menyukai itu.
Aku tak perlu simpati siapapun.

Aku mengalihkan pikiranku dengan membuka lipatan kertas yang kupegang.

Hanya ada nomor di sana.

Tujuh.

Para newbie sudah berdiri dan menghampiri pendamping dengan nomor yang ada di kertas masing-masing.

Aku berdiri. Mencari-cari dimanakah volunteer dengan nomor tujuh berada.

Lalu datanglah dia.

Seorang perempuan berambut merah gelap seusia diriku dengan tanda nomor tujuh di bajunya.

Aku tertegun.

Perempuan itu jelas masih seusia diriku.

Dan dia sudah menjadi pendamping. Hal itu berarti dia sudah bersama group therapy ini selama beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun.

Hidup ini memang tidak adil.

Aku menghampiri perempuan berambut merah itu yang segera menyambutku dengan senyuman.

Bisakah orang-orang di sini berhenti tersenyum?

"Hai. Kau dapat nomor tujuh?" tanya perempuan itu.

Aku mengangguk.

Lalu dia mengulurkan tangan kanannya yang dihiasi banyak gelang padaku, "Namaku Allegra Danish. Senang berjumpa denganmu."

*****


Don't forget to click the follow button! Komen ya bagaimana pendapat kalian:) See you in the next chapter.

ALLEGRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang