1. Berlibur

17.7K 306 34
                                    

Mengingat kejadian itu, aku mulai tersenyum, sesuatu yang tak sengaja justru mendekatkanku dengannya, ah, ini bukan tak sengaja, tapi karena Syafina melakukan hal di luar dugaan yang pada akhirnya menjadi awal sesuatu yang baru untukku dan Mira. Kami yang pada awalnya hanya saling bertegur sapa layaknya para tetangga biasa, mulai sering berbicara bahkan hanya berdua saja tanpa melibatkan Syafina.

Senyumku mengembang, membayangkan kelebihan-kelebihan yang ia miliki. Menurutku, ia cantik, mandiri dan juga berkepribadian baik, dan setahu yang ku lihat, Mira masih sendiri. Namun senyumku hilang begitu saja setelah mendapati diri ke dunia nyata kembali. Saat ini Mira hanya menjadi sosok mimpi yang terlalu tinggi untuk ku raih, bagaimana tidak, keadaanku yang sekarang sudah tak pantas mengharapkan sosok wanita sepertinya. Aku tak terlalu berharap bisa menemukan pengganti, walau sebelum pergi ia berucap serta berharap bahwa aku bisa mencari sosok yang bisa menggantikan kekosongan setelah ia tiada, tapi tak semudah apa yang ia inginkan, dan Mira sepertinya bukanlah sebuah jawaban.

Kedekatan Mira dan Syafina memang bisa memberi harapan, tapi sayangnya aku lebih memilih ia bukan sebagai pilihan, dunia kami terlalu berbeda, kehidupannya terlihat sempurna sedangkan aku hanya orang yang baru memulai kembali menata hidup demi sang buah hati.

"Ayah, apa Ayah mau nikah lagi? Apa Syafina nanti punya Bunda baru?"

Pertanyaan sederhana dari gadis kecil yang sulit ku jawab. Beberapa waktu lalu Syafina menanyakan itu ketika kami sedang berada di tempat hiburan yang diadakan setiap satu tahun sekali itu. Mungkin ia penasaran tentang apa yang akan aku lakukan kedepannya, tapi apa gadis berusia tiga tahun lebih itu sudah berpikir seperti itu? Mungkin saja, karena yang ku tahu, Syafina adalah anak yang cerdas dan mandiri. Waktu itu aku hanya bisa menatapnya lalu tersenyum getir, tak tahu dengan jawaban apa yang harus kuberi.

"Pagi, Ayah."

Sapaan lembutnya membuyarkan lamunanku tentang apa yang terjadi malam itu.

"Eh, anak Ayah udah bangun, Pagi juga cantik."

Aku langsung menggendongnya dan mendudukannya dipangkuan. Kuhentikan sejenak kegiatan pagi yang sering aku jalani untuk sejenak bermain dan memeluknya.

"Ko anak Ayah yang cantik ini masih bau asem?"

Syafina tersenyum mengerti dengan ucapanku yang memang hanya sebatas bercanda.

"Syafina belum mandi, Yah."

"Kenapa belum mandi sayang?"

Dia tak menjawab, mungkin saja hari ini Syafina memang sedang tak ingin mandi, atau sedang ingin bermalas-malasan. Sama seperti apa yang sedang aku lakukan saat ini.

"Kalau Syafina enggak mandi, berarti hari ini Ayah gak jadi ngajak Syafina jalan-jalannya."

Dia menatapku dengan ekspreai cemberut namun tetap dengan sikap khas anak kecil yang lucu. Mungkin ia sedikit kesal mendengar ucapannku yang membatalkan janji untuk mengajaknya jalan-jalan hari ini.

"Iya Yah, Syafina mandi dulu."

Aku mengantarnya kekamar mandi namun tak memandikannya, ia sudah bisa dan terbiasa mandi sendiri, lagipula memang tak seharusnya seorang ayah yang memandikan putrinya, sejak dini anak perempuan harus sudah dikenalkan dengan rasa malu agar ia mengerti tentang mana yang boleh dan mana yang tak boleh dilakukan oleh perempuan dan laki-laki.

Setelah selesai mandi, Syafina dengan cekatan memakai pakaiannya sendiri, sementara aku hanya bisa mengarahkan dan sedikit membantu.

"Yah, kita cuma jalan-jalan berdua aja?"

Ketika aku memakaikan sepatunya tiba-tiba saja dia bertanya seperti itu, ku kira itu hanya pertanyaan biasa saja, namun ternyata ada sesuatu yang Syafina tak ceritakan.

DUDA? Hot Daddy (Eps.1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang