3. Teman Lama?

4.4K 127 13
                                    

Aku membaca pesan terakhir dari Riana, atau yang sering ku panggil Ana, yang semalam belum sempat aku buka.

"Oh, kirain cewek baru kamu."

Pesan itu masih diakhiri dengan emoji, namun kali ini berbeda, dia mengirimkan emoji tersenyum namun dengan ekspresi sinis, dan lagi-lagi aku hanya tersenyum menaggapinya. Aku tahu kalau itu tak serius dan hanya sebatas bercanda. Aku tak membalas pesan terakhirnya, aku lebih memilih membuka laptop untuk kembali menyelesaikan deadline kontrak yang semalam terabaikan oleh inspirasi yang tak kunjung datang. Segelas Air putih yang hanya tinggal terisi setengahnya tak pernah aku lupakan, saran dari seorang teman selalu teringat dalam benak, bahwa otak manusia yang selalu digunakan untuk bekerja dan berpikir keras butuh asupan cairan yang lebih banyak, saran itu selalu aku lakukan, setidaknya untuk menjaga tubuhku agar tetap sehat demi Syafina. Tak terbayang rasanya ketika aku sakit siapa yang akan menjaganya.

Kali ini, inspirasi datang begitu cepat sehingga tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan naskah yang hanya tinggal melengkapi bagian dari bab akhirnya saja.

Siang ini terasa begitu sepi, tetangga rumah lebih banyak menghabiskan waktu untuk bekerja dari pagi hari hingga malam hari, kebanyakan dari mereka bekerja pada sebuah kantor perusahaan swasta atau kedinasan, sepertinya hanya aku saja yang lebih sering menghabiskan waktu di rumah karena memang pekerjaanku tak butuh tempat dan waktu yang pasti, semua bisa dikerjakan ketika ada waktu luang dan ketika inspirasi datang. Tapi sebenarnya aku sudah merancang jadwal waktu untuk melakukan pekerjaan, aku tak mau waktu kerja sampai mengurangi perhatian dan kasih sayang untuk Syafina yang hanya ia dapatkan dariku seorang. Sempat terpikir untuk mencari seorang ibu untuknya agar ia bisa mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang lengkap, tapi aku khawatir ia takkan bisa menyayangi Syafina sepenuhnya yang justru akan berakibat fatal bagi perkembangan psikologis serta tumbuh kembangnya.

Sore ini aku berencana mengajak Syafina ke pusat perbelanjaan yang cukup besar untuk membeli beberapa keperluan bulanan yang telah habis. Pada tempat pusat perbelanjaan itu terdapat beberapa wahana permainan untuk anak kecil dan Syafina suka bermain ditempat itu. Insting alami seorang anak kecil memang hanya bermain, anak seusianya belum bisa berpikir terlalu berat, walau sekali-kali kadang ia berpikir seperti orang dewasa.

"Sayang, udah siap?"

"Udah, Yah."

"Ok, mari kita berangkat."

Dengan hanya menggunakan kendaraan roda dua yang memang sengaja aku gunakan untuk keperluan sehari-hari kami pun berangkat. Syafina duduk didepan dengan kursi tambahan yang sengaja dibuat untuk anak kecil agar bisa duduk dengan nyaman.

"Nanti disana Syafina mau main apa sayang?"

"Syafina pengen naik kuda-kudaan Yah."

"Kamu gak bosen naik itu terus?"

"Enggak Yah, Syafina pengennya naik itu aja."

Tak berapa lama kamipun tiba pada pusat perbelanjaan tersebut yang memang jaraknya tak terlalu jauh dari komplek perumahan yang menjadi tempat tinggalku.

"Kita belanja dulu ya, habis itu baru kita main."

Syafina mengangguk, dan kami pun mulai berkeliling untuk mencari keperluan yang akan kami beli. Aku membiarkan Syafina berjalan sendiri untuk sekadar melihat-lihat apa yang membuatnya penasaran namun masih dalam batas penglihatanku agar masih bisa ku awasi, namun kini Syafina sudah menghilang, sepertinya ia sudah berada di sebelah di tempat camilan dan makanan kecil berada.

"Syafina."

Dan benar saja, Syafina sudah di sana sambil memegang beberapa makanan kecil yang memang dia sukai, juga sambil tersenyum ditemani oleh orang yang sudah tak asing lagi baginya.

DUDA? Hot Daddy (Eps.1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang