14. Saat itu

2K 84 0
                                    

Hari yang ku lalui kini tengah berbeda seiring hubunganku yang semakin membeku dan berjarak padahal pada kenyataannya statusku dengannya hanya sebatas kenal karena bertegangga, belum menjadi sesuatu yang berharga. Beberapa kali ku lihat Andrew menemui Mira untuk sekadar mengajaknya berangkat bekerja bersama atau memang sengaja ingin bertemu saja, namun itu berarti bagus untuknya agar bisa lebih cepat untuk bahagia.

Dari pintu gerbang komplek terlihat mobil berjalan perlahan masuk melewatinya, kaca dari pintu mobil di turunkan oleh pengemudi yang langsung tersenyum di balik kaca mata hitam yang serasi dengan pakaian yang hari ini melekat di tubuhnya.

Setelah tepat berada di depan rumah, mobil itu berhenti.

"Hai."

Ana keluar dari mobil lalu menghampiri. Aku membalas sapaannya hanya dengan seulas senyum yang berarti bahwa pertengkaran kami sebelumnya telah berakhir, dengan Ana meminta maaf melalui pesan malam itu pun aku telah memaafkannya.

"Oh iya, Davina mana? Sendirian aja."

"Iya, dia gak ikut."

Aku langsung mengajak Ana masuk untuk menemui Syafina, sekadar agar kami tak berbicara hanya berdua.

Syafina yang melihat kedatangan Ana cukup senang namun sama sekali tak antusias, ia masih lebih memilih untuk bermain bersama boneka-bonekanya yang salah satunya adalah boneka pemberian Mira.

Sejak kejadian itu, aku melarang Syafina untuk terlalu dekat dengan Mira, dengan alasan kalau Mira sedang sibuk dan khawatir ketika Syafina menemuinya malah akan mengganggu aktifitas Mira, padahal itu semua hanya alasanku saja yang ingin membuat Mira menjauh dari kehidupanku juga Syafina, agar ia bisa menjalin hubungan dengan orang lain. Tak pantas rasanya orang sepertiku masih mengharapkan jodoh yang baik seperti Mira, biarlah Mira bahagia dengan pasangan yang bisa membuatnya merasa sempurna, dan Andrew adalah pilihan yang sangat tepat.

"Sebentar ya, aku bikinin minum."

Mungkin Ana merasakan setelah kejadian itu, sikapku padanya tak lagi sama, tapi aku bersikap berbeda bukanlah karena masalah itu, ini hanya lebih kepada perasaan yang sedang ku alami saat ini.

"Mas, sebenernya kamu masih marah ya gara-gara masalah kemarin?"

Benar dugaanku, Ana merasakan perbedaan sikapku padanya. Aku menggeleng sebelum akhirnya beberapa kata keluar dari mulutku begitu saja.

"Aku gak apa-apa kok, masalah itu jangan di pikirin lagi."

Dengan senyum, aku berusaha menutupi perasaan yang sekarang sedang ku rasa, ternyata ikhlas adalah ilmu yang paling sulit dilakukan.

"Aku tahu, Mas, senyum kamu itu kepaksa, kalau kamu gak pengin kita ketemu atau mungkin gak ada hubungan lagi juga gak apa-apa kok, maaf selama ini aku sering ganggu waktu kamu, aku pulang ya."

Ana langsung beranjak dari duduknya untuk pergi, namun dengan refleks aku mencegah dengan menggenggam tangannya.

"Bukan karena masalah itu ko, maaf."

Aku menyuruh Ana kembali duduk.

"Gak tahu kenapa kayaknya aku lagi gak mood aja, mungkin karena kecapekan kayaknya."

Hanya alasan seperti itulah yang bisa ku jelaskan padanya, tak mungkin rasanya menjelaskan situasi saat ini tentang apa yang sedang terjadi.

"Oh gitu, mau aku pijitin?"

Aku mengernyitkan dahi, berusaha mencerna kalimat yang ia maksud.

"Jangan mikir yang aneh-aneh deh, ini mijit beneran."

DUDA? Hot Daddy (Eps.1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang