25. Sesuai Rasa

1.9K 88 15
                                    

Angga Abimana

Berdiri di depan sebuah pintu yang akan membawaku pada masa depan. Saat ini di dalam sana masih sebuah pertanyaan. Berat rasanya kaki ini untuk melanjutkan langkah, pemilik kaki sama sekali tak memiliki keberanian untuk menapaki serta menghadapi.

"Mas, ayo."

Mira menyadari bahwa aku tak lagi berada di sampingnya, ia kembali menjemputku lalu membawaku masuk untuk memastikan apa yang berada di sana, sebuah masa depan atau hanya akan menjadi kenangan.

Aku datang menghadapi ini tanpa di dampingi malaikat kecilku, Syafina. Obrolan pada malam itu menghasilkan sebuah keputusan bahwa kami sepakat untuk menitipkannya pada Ibu, khawatir dengan keputusan yang tak sesuai harapan. Aku dan Mira pun tak berangkat bersama, kami membawa kendaraan masing-masing. Seandainya kita tak sanggup menerima kenyataan, maka Mira akan berada di rumah orang tuanya untuk sementara.

Jawaban tengah duduk di sana, menungguku dengan tatapan yang membuat keyakinan semakin luntur. Pria berwibawa yang pernah mendidik ke dua putrinya menjadi sukses hingga seperti saat ini. Sangat wajar ia khawatir dan selektif dalam memberi restu untuk masa depan putri bungsunya.

Aku dipersilahkan duduk. AC di rumah itu begitu dingin, berbanding terbalik dengan suhu tubuhku yang terasa panas, keringat bercucuran, menempel pada kemeja hitam yang saat ini ku kenakan.

"Kamu sudah siap?"

Papa Mira memulai pembicaraan, suasana semakin menegang. Aku tak berani memberi jawaban apalagi untuk membalas tatapan. Aku tahu ini tak sopan, tapi aku tak berdaya, saat ini aku merasa seperti pecundang.

Almiera Shofia Prameswary

Sampai di depan rumah, untuk sesaat aku tak langsung keluar dari mobil. Beberapa kali ku hirup nafas dalam lalu membuangnya secara perlahan. Cara ini cukup ampuh untuk membuat ketakutanku berkurang. Aku tak menyadari Angga telah berdiri di samping mobil menungguku keluar.

Aku keluar dengan rasa lebih lega, seulas senyum Ku edarkan untuk menutupi rasa takut. Dapat sekilas ku lihat, ia merasa tegang. Ia yang biasanya selalu tersenyum dan tak banyak bicara, kali ini begitu dingin.

"Mas, ayo."

Ia berhenti sejenak di depan pintu. Wajahnya masih tetap seperti itu.

"Mbak."

Sampai di dalam rumah, aku di sambut oleh kakak perempuan serta suaminya, Mama juga berada di sana. Sedangkan Angga, ia telah di tunggu oleh Papa di ruang tamu. Aku memeluk Mama dan Kakakku bergantian. Mereka memberiku semangat agar siap menerima keputusan. Aku bersama mereka menunggu di ruang keluarga. Dari tempat ini, suara Papa serta Angga sedikit terdengar, namun sejak tadi Angga tak sedikipun bicara.

Angga Abimana

"Setelah saya berpikir dan mempertimbangkan semuanya, saya kira kamu belum bisa."

Harapanku runtuh seketika. Aku tak berani membantah ataupun berucap walau beberapa patah kata. Kalau semua itu yang terbaik, aku akan berusaha tegar menerima. Yang ada dalam benakku saat ini justru Syafina, bagaimana aku akan menjelaskan padanya kalau harapannya memiliki bunda kini telah sirna.

Tak ada lagi kata dari orang tua Mira, sepertinya ia memberiku masa untuk berduka. Aku berusaha menengadahkan kepala, lalu tersenyum semampu yang ku bisa.

"Gak apa-apa, Om, aku ngerti, terima kasih buat kesempatannya."

Papa Mira tersenyum, sepertinya ia lega melihatku ikhlas melepas Mira, yang pada akhirnya memang mustahil untuk ku miliki.

DUDA? Hot Daddy (Eps.1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang