22. Penentu?

1.7K 75 23
                                    

Aku merenung sejenak, rasa ragu mulai muncul, menyerang dengan begitu banyak pertanyaan. Di hadapan cermin wajah serta bayangan masa lalu muncul, khawatir tentang takdir yang belum terjadi, takdir yang takkan pernah sama antara jalan kehidupan Viona dan Mira.

"Mas, kok ngelamun?"

Tak ku sadari Mira telah berdiri di ambang pintu, sesaat memperhatikan rasa ragu yang bisa tergambar di wajahku.

"Gak ko, ini cuma lagi... "

Tanpa canggung, Mira mendekapku. Ia memberi semangat agar aku kembali percaya diri.

"Aku tahu apa yang kamu rasain, tapi... Terimakasih udah mau berusaha buat aku."

"Aku perjuangin kamu bukan cuma buat kita, tapi juga semuanya termasuk buat sesuatu yang belum terjadi, walau terkadang tanpa terlihat rasa ceria tapi itu tetaplah bagian dari rasa bahagia."

Pelukan Mira semakin erat lalu seketika mengendur bersama suara lembut yang datang memanggilnya.

"Bunda."

Giliran Syafina yang kini telah berdiri di ambang pintu, wajahnya begitu ceria melihat ayah dan calon ibunya bahagia, setidaknya seperti itulah yang mungkin gadis seusianya pikirkan. Ia belum mengerti bahwa beban mental untuk berkeluarga kembali cukup memberi tekanan bagi ayahnya.

Syafina berlari, melihat tangan Mira yang masih melingkar di pinggangku, ia pun memeluk Mira, namun sayangnya hanya sanggup menjangkau bagian paha saja.

"Eh, sayang mau Bunda peluk juga?"

Mendengar pertanyaan Mira untuk Syafina, aku masih belum terbiasa dengan kata-kata itu. Berbeda dengan Syafina, baginya Mira adalah kebahagiaan yang dulu pernah hilang.

Aku tertawa, walau hanya sebagai hiasan di wajah saja. Biarlah itu menjadi topeng atau obat agar mereka berdua tak ikut mennggung rasa khawatir yang saat ini sedang ku rasa.

"Udah siap semua kan? Berangkat yuk? Nanti kalau gak berangkat sekarang bisa-bisa telat loh."

Aku mengingatkan mereka tentang janji hari ini, aku tak mau kesan pertamaku bertemu orang tua Mira tak berjalan baik.

Hari ini Mira sengaja mengambil cuti selama satu hari untuk mempersiapkan diri, padahal jadwal berangkat ialah waktu sore hari dan mungkin akan pulang hingga malam menjelang.

Seperti yang sudah ku katakan sebelumnya, aku mengajak Mira berangkat hanya menggunakan motor besar milikku, aku tak mau berpura-pura menjadi apa atau siapa untuk bertemu mereka, aku lebih memilih menjadi diri sendiri dan tampil apa adanya, biarlah mereka yang memutuskan masa depanku dengan Mira, aku percayakan semua pada apa yang akan mereka putuskan.

Setelah beberapa lama dalam perjalanan, akhirnya kami tiba di depan rumah orang tua Mira, tak disangka ternyata Mira berasal dari keluarga berada, berbeda sekali dengan sikap Mira yang mandiri dan lebih sering tampil apa adanya tak mencerminkan keturunan dari orang berada. Halaman rumah mereka begitu luas dan bahkan garasinya sanggup menampung beberapa mobil, itu jelas terlihat dari beberapa mobil yang terparkir di sana.

Mira turun dari motor dengan serta menggendong Syafina. Aku tak langsung turun mengikuti mereka yang langsung berjalan menuju pintu utama rumah kedua orang tuanya. Menyadari aku yang belum memarkirkan bahkan turun dari motor, Mira menoleh lalu memanggil, namun sayangnya aku tak mendengar panggilannya karena terganggu dengan kenyataan bahwa ternyata Mira berasal dari keluarga berada. Namun aku juga merasa sangat bodoh, selama kenal dengan Mira aku tak pernah sekalipun menanyakan atau mengobrol tentang asal-usul keluarganya, itu karena aku tak terlalu mau ikut campur dengan urusan pribadi masing-masing, dan waktu itu pun hubungan kami belum memiliki komitmen seperti saat ini.

DUDA? Hot Daddy (Eps.1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang