Last page: The day before

1.4K 202 10
                                    

(Sebelumnya, tolong play mulmed diatas saat membaca chapter ini ya. Terimakasih ^^)



“actually, it's like this
what use is it to hold onto something that is scattering?
only the heart will hurt more
But again I wonder,
what is the purpose of living like this?”

“actually, it's like thiswhat use is it to hold onto something that is scattering?only the heart will hurt moreBut again I wonder,what is the purpose of living like this?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jisung berbaring diam di ranjangnya. Lampu kamarnya sengaja tak ia nyalakan. Samar-samar ia bisa mendengar suara anggota keluarganya yang lain dari balik pintu. Tanpa kakak perempuan dan keponakannya, tentu saja. Paman dan bibinya sedang berkunjung karena mereka mengkhawatirkan keadaan Jisung. Mereka sedang mengobrol akrab, entah tentang apa. Jisung sendiri tak mau tahu.

Rasa sesaknya semakin menjadi ketika ia teringat dengan percakapan keluarganya sore tadi tentang hubungan sesama jenis dan kaum sejenisnya. Jisung muak. Lebih baik mati saja rasanya daripada harus mendengar ocehan tak berguna yang membuatnya semakin sakit.

Pemuda itu harus selalu menahan dirinya untuk menunggu saat yang tepat.

Cklek

Pintu kamarnya terbuka. Menampakkan sosok Ayahnya yang tengah merangkul bahu sang paman akrab.

“Belum tidur?” tanyanya.

“Belum.”

“Jangan tidur terlalu larut.” ujar Ayahnya. “Jangan sampai kau melewatkan pelajaran di sekolah. Mulai besok kau pergi sekolah.”

Ya, aku tahu aku bodoh. Ingin rasanya Jisung membalas seperti itu. Tapi yang dilakukannya hanya mengangguk dan bergumam pelan. Dan sepertinya itu cukup untuk Ayahnya, yang kemudian menutup pintu kamarnya.

Membuatnya kembali tenang.

Jisung kembali menunggu hingga rumahnya benar-benar tenang. Hening. Hingga dirasanya semua orang sudah benar-benar terlelap.

Jam dinding menunjukkan waktu pukul dua dini hari. Cahaya remang yang dihasilkan lampu tidur cukup untuk menerangi tempat yang ditujunya. Dengan hati-hati Jisung mengeluarkan sebuah pisau cutter berwarna kuning cerah dari tempat pensil di sudut meja belajarnya. Ia tak pernah menggunakan benda tersebut untuk hal lain kecuali kegiatan khususnya seperti malam ini.

Pemuda itu duduk bersandar di dinding, lalu menggulung lengan kaosnya yang panjang. Ia terdiam sejenak mengamati bekas-bekas luka yang terlihat saling menyilang di lengannya. Kemudian ia teringat Minho yang mengecup bekas luka tersebut dengan lembut minggu lalu saat mereka bertemu terakhir kali di rumah Seungmin. Wajahnya yang terlihat kesakitan ketika melihat lukanya, dan tentu saja…

Ciuman pertama mereka.

Ia terkekeh pelan. Merasa miris dengan kisah cintanya sendiri.

Setelah mengatur nafasnya menjadi lebih tenang, Jisung menekan lempengan tajam tersebut ke pergelangan tangannya. Tepat ke arah garis-garis hijau yang bersembunyi dibalik kulit pucatnya. Ia memejamkan matanya merasakan pedih yang mulai muncul.

Rasa sakitnya terasa panas dan tajam. Darah segera mengalir dari lukanya menuju siku, menuju lantai, mengotori pakaiannya, namun Jisung tak peduli. Ia terus menekan pisau cutternya semakin dalam. Semakin keras. Hingga rasanya ia semakin lemas dan sesak.

Air mata mengalir melewati pipinya, lalu jatuh dan bercampur dengan darah yang sedikit-sedikit mulai membentuk genangan kecil berwarna merah di lantai kamarnya.

Akhirnya, pikir Jisung. Ia berani melakukannya setelah menahannya selama ini.

Ia memejamkan matanya menikmati rasa sakit yang terasa menusuk. Rasa sakit yang nyata itu membuatnya terjaga walau tubuhnya semakin melemah.

Suara getaran yang berasal tak jauh dari kakinya membuat perhatiannya teralih. Ia memicingkan matanya, mencoba membaca nama yang tertera di layar handphonenya.

‘Minho hyung’

Ah, ya. Ia melupakan sistem soulmate sialan itu. Sepertinya Minho merasakan sesuatu yang buruk telah terjadi kepadanya.

Ia mendengus pelan. Seulas senyum miris menghiasi wajahnya yang semakin pias. Matanya terasa semakin memberat. Nafasnya tersengal.

Andai saja kau datang lebih awal, hyung..




END

sonder || minsungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang