9

4.5K 365 30
                                    

"Sudah berapa lama?" Ratu Sheila meletakkan cangkir tehnya dengan anggun ke atas meja, menatap putrinya yang bahkan tidak menyentuh teh di depannya itu. "Sejak kapan kau memiliki perasaan seperti itu terhadap Ares?"

Tara menatap lekat Ratu yang tidak menunjukkan ekspresi apa-apa. Ia benci sekali jika mamanya harus memakai topeng seperti itu. Ia tidak bisa menilai apakah Ratu akan memberikan restu ataukah tidak.

"Sejak Ares melangkah masuk ke aula istana untuk pertama kalinya. Sejak itu aku sudah jatuh cinta padanya."

Ratu masih diam. Bahkan kerutan di dahinya pun tidak terlihat. Tara merasakan telapak tangannya mulai lembap. Kenapa mama membuat semuanya menjadi sulit?

"Kubur perasaan itu, Tara. Raja sudah menjodohkanmu dengan seseorang. Dan sebagai anak, kau harus patuh pada perintah Raja."

Tara menggeleng cepat, menatap Ratu dengan mata yang mulai memanas. "Yang Mulia Ratu, aku tidak bisa melakukan hal itu. Tidak bisakah aku mendapatkan kesempatan menjelaskan perasaanku. Aku mencintai Ares. Sangat."

"Aku dan Raja juga menikah bukan karena cinta, tapi kami bahagia sampai saat ini."

Tara terdiam. Cairan panas mulai menumpuk di pelupuk matanya. "Aku mohon mama. Mama satu-satunya harapanku. Tolong mengertilah. Aku tidak akan bisa jika tidak ada Ares di dalam hidupku. Mama mungkin tidak akan pernah tahu rasanya mencintai seseorang sebesar ini, tapi aku akan sangat menderita, mama. Aku mohon."

Tara bangkit dan segera mendekati Ratu. Ia duduk di lantai begitu saja bahkan tidak peduli dengan dinginnya lantai yang mengenai tubuhnya. Ia segera meraih dan memegang kaki Ratu Sheila yang terbalut stoking hitam. "Aku tidak akan berdiri sampai mama memberi restu itu.

"Tara..." Suara Ratu Sheila mengecil. Ia terkejut melihat apa yang baru saja dilakukan Tara. "Kenapa, Tara. Kenapa sampai seperti ini."

"Semua ini karena cinta, mama."

Ratu Sheila mendesah pelan. Ia terdiam lama, menatap Tara yang tertunduk, duduk di lantai sembari memeluk kakinya. Sesuatu dalam hatinya bergetar. Ia belum pernah melihat seseorang memperjuangkan cinta sampai seperti ini. Benarkah cinta bisa memiliki kekuatan seperti itu? Tara rela memohon untuk Ares?

"Apa yang membuatmu begitu mencintainya, Tara?" Ratu Sheila perlahan mendekatkan tangannya ke kepala Tara. Ia mengusap helaian rambut coklat gadis itu. "Apa karena Ares tampan? Karena mata birunya yang mempesona?"

Tara menggeleng pelan. Air matanya meluncur turun membasahi sisi wajahnya. Ia terlalu lelah untuk mengusap air matanya. Ia memejamkan matanya, membiarkan beberapa tetes lagi turun membasahi wajahnya dan terjatuh ke atas rok hitamnya.

"Rasa itu datang begitu saja mama. Semakin aku mengenal Ares, semakin aku melihat loyalitasnya, semakin aku melihat keberaniannya, semakin aku melihat betapa kerasnya dia bekerja dan belajar untuk membuktikan dirinya pada semua orang, aku jatuh semakin dalam, cinta itu semakin besar."

Ratu Sheila berhenti mengusap rambut Tara. Keningnya berkerut. "Kau tahu siapa Ares sebelum dia masuk ke istana ini kan, Tara?"

Tara tahu pasti. Sejak ia mengetahui perasaanya adalah cinta, ia mencari tahu soal masa lalu Ares. Ia tahu jika Ares dibesarkan sendirian oleh ibunya, tanpa pernah mengenal siapa ayahnya. Ibunya memilih meninggalkan Ares saat usinya masih sepuluh tahun. Anak sekecil itu membesarkan dirinya sendirian, entah dengan cara apa. Dia kekurangan kasih sayang, tidak pernah merasa dicintai. Dan Tara semakin mencinta Ares sejak saat itu.

"Aku tahu, mama," Tara menjawab pelan. "Dan itu tidak mengurangi rasa cintaku."

Ratu Sheila menarik napas panjang. Diraihnya dagu Tara dan mengangkatnya. Gadis itu menatap Ratu dengan mata berkaca-kaca, sisa airmata mengotori wajahnya.

Mine! [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang