Rahasia

191 23 0
                                    

Seorang namja tengah duduk di kursi meja kerjanya. Cahaya remang-remang dari lampu di pojok ruangan yang memberi penerangan di ruangan tersebut.

Kaca mata yang bertengger di hidungnya menambah kesan serius di wajah namja tersebut. Pena yang sedari tadi mengukir tulisan di lembaran kertas putih, beralih mengetuk meja kayu. Sehingga menimbulkan suara ketukan yang teratur.

Merasa cukup dengan hal yang sedang ia kerjakan, akhirnya namja tersebut menutup buku catatan bersampul coklat dengan nama yang tertera di sampul depannya 'Park Jimin'.

Ji Min beranjak dari posisinya ketika ia rasa seluruh tubuhnya mulai kaku. Ia lepas kaca mata yang sedari tadi menghias wajahnya, sebuah usapan kasar ia berikan kepada wajahnya yang nampak lelah. Kemeja yang tergulung sebatas siku, menambah kesan berwibawa.

Pandangan yang menerawang ke jendela, memandang seluk-beluk kota Seoul dari ruang kerjanya yang berada di lantai tiga. Sampai sebuah ketukan pintu mengusik pendengarannya.

"Permisi Usia-nim, kami izin pulang terlebih dahulu." Ucapan seorang suster dengan beberapa suster lain dibelakangnya, membuat Ji Min menganggukkan kepala dengan senyuman yang menghias wajah tampanya. Ia tak peduli seberapa lelahnya ia, senyuman dapat mengurangi beban tersebut.

"Tentu saja, terimakasih atas hari ini kalian telah bekerja keras. Hati-hati dalam perjalanan pulang." Jawaban Ji Min membuat para suster tersebut merasa senang, terbayar sudah kelelahan mereka selama sehari.

"Terimakasih Usia-nim, kami mohon diri. Selamat malam." Mereka semua segera meninggalkan ruangan, setelah menerima anggukan dari Ji Min. Kini kembali seperti semula, tinggal Ji Min seorang diri di ruangan tersebut.

Tak ada niat untuk pulang di benak Ji Min, ia benar-benar di buat kacau dengan cerita Nam Joon siang tadi.

Flash back

"Bagaimana dengan gadis yang hyung ceritakan pekan lalu."

"Ah....itu. Aku tidak tau harus memulainya dari mana." Nam Joon menggaruk bagian belakang kepalanya. Dengan hanya melihatnya Ji Min tahu betul jika Nam Joon merasa tidak nyaman menceritakannya.

"Sudahlah hyung, kita tidak perlu terlalu canggung satu sama lain. Bukankah kita teman? Namun jika kau berfikir jika hal tersebut tidak harus di bagikan dengan orang lain aku tidak keberatan." Ji Min mengakhiri ucapanya dengan meminum sedikit tehnya.

"Bukan begitu maksudku Ji Min-ah, kuras tidak ada salahnya jika aku berbagi cerita dengan mu." Ji Min begitu senang karena akhirnya Nam Joon mau terbuka dengannya. Perlahan Ji Min meletakkan cangkir tehnya ia berusaha agar tidak menimbulkan suara yang akan mengganggu Nam Joon.

"Aku pertama kali bertemu dengan Eun Byul tiga tahun yang lalu, jika tidak salah sehari setelah kau memberi kabar padaku jika kau akan pergi ke Swis untuk melanjutkan pendidikan. Malam itu salju turun begitu lebat, aku baru saja pulang dari cafe tempatku bekerja. Aku melihat Eun Byul dengan luka di kaki dan lengannya bahkan lebam di wajahnya. Ia berada di cuaca dingin tanpa pakaian hangat, bahkan ia masih mengenakan seragam sekolahnya." Nam Joon berhenti sejenak, sekilas ia memangdang Ji Min yang barada di hadapanya.

"Hari itu aku kembali kerumah setelah kembali dari cafe, untuk kedua kalinya aku melihat Eun Byul. Ia memang tidak terluka seperti pertama aku melihatnya namun kondisi pakaian yang berantakan dapat menjelaskan jika ia tidak baik-baik saja. Kali ini aku berusaha mendekatinya, kuberikan beberapa potong kue yang kubawa dari cafe. Ternyata tanpa kusadari karena sepotong kue tersebut membuatku menjadi dekat dengannya hingga sekarang." Nam Joon mengakhiri kisahnya. Ji Min menghela nafas panjang sebelum ia membuka suara.

"Jadi, apakah hyung tau latar belakang dari Eun Byul?"

"Em, ia adalah siswi kelas tiga SMA saat pertama kali kita bertemu, setauku Eun Byul adalah korban pembulian sama sepertiku ia juga tidak memiliki teman, aku terbebas dari pembulian karena dirimu. Dan aku juga ingin melakukan itu kepada Eun Byul, aku mengajarinya membela diri sama sepertimu mengajariku dulu."

"Apakah hal itu berhasil?"

"Ya, Eun Byul mengatakan kini tak ada lagi yang mengganggunya. Dan satu lagi persamaan ku dengannya yaitu kami sama-sama sebatang kara, orang tua Eun Byul meninggal dalam sebuah kebakaran, jadi ia dibesarkan dilingkungan panti. Ia selalu menemuiku setelah pulang sekolah, ia akan menungguku bekerja walapun terkadang ia menghilang. Ia begitu tau saat yang tepat ketika menemuiku."

"Memangnya Eun Byul tidak setiap saat datang menemuimu?"

"Kurasa tidak, ia akan sering datang di akhir pekan atau ketika aku sedang tidak ada pekerjaan. Ia akan mengetuk pintu dan memaksa masuk jika tidak aku izinkan. Namun satu pekan ini ai tak pernah datang aku tak tau apa penyebabnya. Mungkin ia tengah mempersiapkan ujian akhir. Mengingat ia sudah kelas tiga SMA, aku ingin ia menjadi orang sukses sepertimu, dan tidak memjadi pecundang sepertiku." Nam Joon menundukkan kepalanya dalam. Ji Min yang melihat hal itu berusaha mengembalikan keceriaan sahabat sekalikus hyungnya.

"Wah tak kusangka kalian sedekat itu, dan hyung tak baik kau membandingkan dirimu dengan orang lain aku tidak suka jika kau berkata seperti itu lagi." Ji Min memberikan senyuman dan menyodorkan sepiring kue kehadapan Nam Joon.

Flash Back And





Halooooooooooo................
Aku gak tau mau nulis apa.

Forever RainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang